Siapa tahu halal & harammakanan-minuman dalam sebuah tempat makan atau restoran! Apalagi khusus perhatian terhadap restoran cepat saji. Pelajari untuk satu jenis makanan saja: ayam, misalnya. Bagaimana proses ayam itu bisa sampai dihidangkan dihadapan anda? Bagaimana proses pemotongannya? Bagaimana cara memasaknya? Apakah menggunakan peralatan yang memenuhi kriteria bersih? Bersih saja tidak cukup jika unsur najis tak terbayangkan olehnya. Belum lagi, ayam tersebut dibeli memakai uang dari mana? Apakah uang itu hasil kerja keras usaha? Kerja keras Korupsikah? Nepotisme-kah? Atau KKN yang lainkah? Siapa tahu! Lebih jauh lagi, penjual ayam ke pihak restoran itu sendiri bagaimana? Apakah ayam yang ia jual memang merupakan proses ternak dan perawatan yang memenuhi kriteria baik dari segi agama? Ataukah merupakan ayam curian? Kalau memang berdasarkan proses ternak, bagaimana dengan benih ayamnya? Apakah benih ayam dilahirkan dari induk ayam yang memenuhi kriteria perawatan dari segi agama? Dan banyak lagi serentetan pertanyaan menyangkut halal & haram ayam yang dikonsumsi di sebuah restoran. Jadi, tidak mudah memang hanya dengan sekedar menerka halal & haram sebuah makanan: restoran khususnya. Bukan perkara gampang dan sederhana. Lantas muncul pertanyaan, kenapa mesti serumit itu? Ini yang menjadi bahan renungan dari proses pembelajaran dalam ?Catatan Kehidupan: Emha Ainun Nadjib---yang lebih dikenal Cak Nun?.
Maka kata Cak Nun, halal & haram ?nya makanan-minuman yang masuk kedalam pencernaan, akan mempengaruhi pola pikir, tingkah laku dan wujud keseharian seseorang dalam lingkungan sosial. Halal & haram ?nya makanan-minuman yang dikonsumsi menentukan baik, jujurnya seseorang dalam lingkungan: sosial maupun keluarga. Makanan-minuman yang dikonsumsi akan mempengaruhi proses kerja sel-sel dalam otak maupun tubuh. Mempengaruhi detak jantung. Mempengaruhi proses ketepatan aliran darah. Mempengaruhi keserasian kerja otak kiri-kanan ke tubuh.
?Jangan sampai ada satu unsur makanan-minuman haram yang masuk kedalam perut. Yang kemudian makanan-minuman akan diolah oleh usus, diurai menjadi zat-zat, menjadi protein, menjadi lemak dan sebagainya. Dan kemudian masuk kedalam darah, darah mengalir ke sekujur tubuh. Darah kemudian menentukan denyut jantung. Akan menentukan kerjanya urat syaraf sampai ke otak. Akan menentukan dialektika berpikir dengan segala macam getaran elektromagnetik di kepala. Akan menentukan suply ke otak kiri dan kanan. Sehingga jika ada satu unsur haram yang dimakan, maka ia akan menciptakan mudharat-mudharatsecara akumulatif dan tidak bisa dihitung oleh ilmu manusia. Jadi, kalau harus mengikuti dan harus makan yang benar-benar halal, tentu sangat sulit. Itu sebab Tuhan Maha Pema'af. Karena manusia tidak akan punya ilmu sampai sedetil itu. Manusia hanya bisa melakukan satu tahap. Misalnya: kita hanya bisa membeli apa-apa di warung, warungnya jelas menjamin halal, maka itu yang kita pilih. Tapi kita tidak bisa mempelajari dibelakang warung tersebut bagaimana asal-usulnya. Maka, bekal yang terbaik dalam hidup ini adalah istighfar, selalu mohon ampun kepada Allah. Sehingga mudah-mudahan kalau tidak sengaja ada makanan haram masuk ke dalam perut, meskipun kita tidak mencurinya tapi ternyata yang kita beli itu barang curian, sehingga kita menjadi tukang tadah, itu masih ada netralisator-nya, masih ada eliminator-nya, yaitu ampunan Allah. Dan untuk mendapatkan ampunan Allah itu, jalannya cuma satu: membiasakan memohon ampun dengan Istighfar. ? kutipan dari: Catatan Kehidupan: ?Emha Ainun Nadjib?.
Sejauh ini, karena kita semua---khususnya muslim---telah sepakat untuk tidak ambil pusing mempermasalahkan halal & haram makanan-minuman pada sebuah restoran, pura-pura tidak tahu, dengan alasan kondisi: lapar, yang tidak memungkinkan mempertimbangkan lagi, dan segala macam, maka semua lalu-lalang seperti tak ada masalah serius. Makan ya tinggal makan. Tinggal beli di restoran, cepat saji pula. Akhirnya, kemudharatan yang terjadi menjadi biasa dan menjadi perilaku sehari-hari, tanpa atau dengan disadari. Semua biasa, dan masa bodoh. Tiba kita tidak mampu lagi untuk mengucap istighfar, memohon ampun kepada Allah. Kita tidak mampu lagi kalau mau meng-kalkulasikan berapa kali harus ber-istighfar. Tidak mampu lagi menghitung sudah berapa banyak makanan haram menyentuh pencernaan. Cukupkah dengan satu kali istighfar untuk beribu makanan haram yang masuk ke dalam perut? Dan kemudian besok mengulangi makan makanan haram lagi kemudian istighfar lagi? Begitu seterusnya. Sehingga tidak heran kita menyaksikan terjadi hal-hal yang mudharatdisana-sini, di lingkungan dan sekitar kita. Baik mudharat yang kita sendiri melakukan, maupun mudharat yang menimpa kita. Semua biasa, dan terlalu jauh untuk memperbaiki. Bagaimana harus memulai?
reff : http://antonsoebrata.blogspot.com/2013/06/dari-catatan-kehidupan-emha-ainun.html
EmoticonEmoticon