KIDHUNGPEREMPUAN MALAM

KIDHUNGPEREMPUAN MALAM
Cerpen: Otto Sukatno CR


Ana khidung rumeksa ing wengi, Teguh ayu luputa ing lelara.
Luputa bihali kabeh. Jin setan datan purun, Paneluhan tan ana wani, Miwah panggawe ala, Gunane wong luput, Geni atemahan tirta, Maling adoh tan wani perak ing mami, Tuju guna pan sirna (dst).
* * *



KIDHUNG itu selalu dinyanyikan perempuan paruh baya itu tiap malam secara rutin. Jam 02.00, setelah menyelesaikan raka?at terakhir shalat malamnya, ia akan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Berdo?a dalam waktu yang cukup lama. Saking khusu? dan seriusnya, kadang-kadang air matanya tanpa disadari akan meleleh. Dan isak tangisnya terdengar lirih. Baru setelah hatinya merasa tenteram, ia akan mengakhiri doanya dengan sujud syukur. ?Alhamdulillah atas segala rahmad dan nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepada kami hari ini. Amin? Desahnya lirih. Seraya mengusap dahi dengan kedua tangannya.

Kemudian perempuan itu melepaskan mukena yang dipakainya, melipatnya erat dan meletakkan disamping duduknya. Seraya berdiri tegak, menghadap ke arah bulan tenggelam. Dan rambut panjangnya dibiarkan tergerai hingga ke bawah belakang pantatnya. Setelah itu, ia akan mengangkat tangannya tinggi-tinggi . Dan mulut dengan bibirnya yang makin hari makin kelu hitam menua, komat-kamit. Entah mantra atau doa apa yang dibacanya.

Beberapa menit kemudian ia menjejakkan kaki kanannya tiga kali, seraya mengibaskan rambutnya yang tergerai, tiga kali juga. ?Jiwa langit kembali ke langit, jiwa bumi kembali ke bumi, tanah pijak bumi pertiwi, menumbuhkan benih kehidupan. Desah desir angin menggenapkan ruh-nafasnya. Hujan rahmad menyuburkan dan kemarau kerontang mengeringkan. Irama abadi bagi kehidupan. Ditanam dan dituai tepat waktunya!? Desahnya lirih, tiap-tiap kali ia mengulang kibasan rambutnya. Kemudian diakhiri mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Seraya kembali memakai mukenanya sambil lamat-lamat, ia kembali mengidungkan ?Ana kidhung rumeksa ing wengi? seterusnya hingga bait yang terakhir. Seiring selesainya kidhung itu, ia membuka kitab suci, seraya mengaji hingga menunggu adzan subuh tiba.

Demikianlah perempuan itu rutin mengisi akhir malamnya, di gubuk halaman belakang rumahnya yang terlindung pohon sawo tua. Sekaligus terlindung dari pandangan orang. Rumah dengan pekarangan yang terbilang luas. Dibelakangnya dipagar pohon teh-tehan yang rimbun dan tinggi. Tebalnya tidak kurang satu meter. Sehingga jangankan orang bisa melewat, bahkan anjing atau ayam pun tidak. Rumah itu benar-benar pekat terlindung. Hingga setiap kali ia menjalani rutinitas kehidupannya, tertutama rutinitas malamnya, tak satupun tetangga mengetahui. Ia kawatir, jika ada tetangga mengatahuinya, ia akan dituduh mengamalkan ilmu sesat. Bisa-bisa dituduh mengembangkan ilmu santet. Maklum, hidup di lingkungan desa, memang sensitif terhadap hal-hal berbau mitos, klenik dan kegaiban. Itulah sebabnya, sejauh ini aktifitas malamnya itu tidak pernah diketahui tetangga. Kecuali diriku, yang belum lama menetap disamping rumahnya.

Sebagai perempuan yang hidup sendirian, perilakunya memang aneh. Bagaimana mungkin dua ritual berbeda, bisa dijalani tanpa menimbulkan perasaan antagonistik dalam jiwanya. Ketika aku tanyakan kepadanya. ?Anak kecil belum boleh mengetahuinya!? Selalu jawaban itu yang kudengar. Akhirnya aku merasa tidak perlu mengetahuinya
Aku melihat kejadian itu tanpa sengaja. Malam itu aku tergagap dari mimpi. Lamat-lamat telingaku menangkap suara seseorang menyenandungkan kidhung mendayu menyayat. Hingga bulu kudukku merinding. Kupikir ada setan gentayangan sengaja menakutiku. Maklum sebagai seorang penulis aku biasa bekerja malam. Dan setan katanya tidak suka orang yang suka melek malam.

Setelah kutajamkan pendengaranku dengan seksama, aku berkesimpulan, tidak mungkin itu suara. Mendadak aku sadar, kidhung itu persis sama dengan suara kidung yang biasa dinyanyikan almarhum ibuku sewaktu aku masih kecil. Tepatnya, ketika malam-malam ibu sedang meninabobokan adik kecilku yang rewel. Kontan aku mencari tahu siapa yang mengumandangkan kidhung itu malam begini. Namun lagi-lagi, rasa takut menghantui. Saking takutnya aku sengaja menutup telinga dengan kapas dan berusaha tidur. Tetapi bukannya bisa tidur, pikiranku justru melayang kemana-mana. Memikirkan yang bukan-bukan. Sejak kejadian itu, tiap malam aku, selalu mendengarnya hal yang sama. Sehingga rasa takut itu perlahan berubah jadi penasaran.

Saking penasarannya, suatu kali aku semalaman sengaja tidak tidur, hanya untuk mengetahui siapa pemilik suara kidhung itu. Aku sengaja berjingkat mencari sumber suara dan mengintipnya. Aku jadi mengerti kebiasaan tetanggaku. Sore selepas shalat isyak, perempuan itu beranjak tidur. Kumudian bangun tepat jam dua pagi dan melakukan rutinitas itu hingga pagi. Demikianlah, selepas shalat subuh, ia akan olah raga kecil. Bukannya jogging atau jalan-jalan layaknya orang-orang kota, tetapi melakukan aktifitas kecil seperti membersihkan halaman rumah dan sesekali memasak. Namun nampaknya ia lebih banyak memilih membeli masakan jadi di warung Tante Sarinem. Selebihnya akan menyulam atau membatik. Hasil sulaman dan batikan itulah yang setiap dua minggu atau sebulan sekali dibawa ke pasar atau langsung ke pemesannya. Itulah sumber mata pencaharian utama, yang menopang kehidupannya .

Suatu kali aku menanyakan gerangan apa yang dilakukan perempuan itu tiap malamnya. Mendapat pertanyaanku, wajahnya mendadak bersemu merah. Ia seperti merahasiakan sesuatu. ?Maaf dik?! Katanya halus dan sopan. Gerak mimik dengan wajah yang masih mengguratkan sisa-sisa kecantikan masa mudanya nampak dingin. Dengan kulit kuning langsat, aku membayangkan, masa mudanya mungkin jauh lebih cantik dibanding wajah seorang artis idola. Apalagi tubuhnya yang sintal atletis, mungkin jika sama-sama muda, aku akan tergila-gila dengannya ?Karena adik,, dik..dik?!?katanya
Aku tergagap dari lamunanku masa muda perempuan itu ?I?iya bu..!? Jawabku.
?Karena adik telah mengerti apa yang aku lakukan? Katanya ?Aku bersedia memberi tahu apa maksudnya, asalkan adik tidak membocorkan rahasia ini?
?Aku berjanji?!? Jawabku pendek, masih kagum akan bayangan masa mudanya.
Mendadak perempuan itu menangis. Tentu saja aku kebingungan. Tetapi aku tidak mengerti apa yang musti kulakukan. ?Maafkan aku, jika karena ulahku, ibu jadi bersedih!?
?Tidak dik, semua itu bukan kesalahanmu!? Jawab perempuan itu gagap. Ia terbatuk kecil seraya menyeka air matanya. Ketahuilah dik, sembahyang malam yang rutin kulakukan, tidak lain untuk menjaga agar hatiku tetap tabah menjalani cobaan demi cobaan hidup yang terus menderaku!?
?Maksud ibu?? Tanyaku menyela tanpa bermaksud mendapat jawaban, sekedar untuk meyakinkan diriku sendiri. Setahuku, kehidupan ibu ini, meski sendirian nampak baik-baik saja. Apalagi katanya, gaji pensiun janda dari almarhum suaminya yang mantan pejabat, lebih dari cukup untuk membiayai hidup seorang diri.
Perempuan itu nampak jengah atas kenyinyiran bibirku. Ia kembali menyeka air matanya, seraya menarik nafas panjang dan berhenti sejenak. Ia menatapku agak dalam. Aku jadi blingsatan karenanya. Mungkin wajahku bersemu merah saat itu. Karena aku merasa, ada sesuatu yang lain dalam diri perempuan itu yang sangat aku kenal. Meski aku tak tahu, apa. Sebab aku kan belum lama mengenalnya.

Perempuan itu seraya menundukan wajahnya dan dengan basa-basi kesantunan, ia mempersilahkanku duduk. ?Berat rasanya mengungkapkannya!? Katanya mendesah. ?Sudah lama aku berusaha mengubur perasaanku ini. Tetapi selalu tak pernah mampu melakukannya. Apalagi belakangan, setelah aku mendengar berita pembunuhan berantai nan sadis yang dilakukan seorang pemuda dari Jombang!?
?Kasus Ryan maksud ibu?? Tanyaku menyela.
?Entahlah, aku kurang mengerti dan mengikutinya Sebab berita itu hanya kudengar lewat rumor pasar, ketika menjual batik atau membeli keperluan sehari-hari?
?Jadi maksud ibu??
?Ketahuilah sesungguhnya, enam bulan lalu sebelum keluarga adik pindah kemari, aku tidak hidup sendirian. Tetapi ditemani anak lelakiku yang semata wayang. Usianya, kira-kira seumur adik. Kini ia pergi. Sampai sekarang tak pernah terdengar kabarnya!?.
?Jadi ibu kehilangan putra ibu??
?Begitulah!?
?Sudah melapor ke polisi bu??
Perempuan itu mendadak kembali menangis tersedu-sedu! ?Tidak dik, aku tidak mungkin melapor ke polisi. Tidak perlu?!?
?Maksudku, aku yang akan membantu ibu melapor?? Kataku menyakinkan
?Tidak dik, sekali lagi tidak usah melapor!? Katanya menegaskan. ?Aku takut berurusan kembali dengan yang berwajib!?
?Maksud ibu?? Tanyaku kian penasaran.

Dengan terbata-bata dan sesekali terhenti sesaat ketika pandangan matanya menerawang jauh, perempuan itu bercerita. Bahwa sepuluh tahun yang lalu, tepatnya ketika terjadi demonstrasi dan kerusuhan menjelang reformasi, perempuan itu kehilanggan putra sulungnya, yang kuliah di Jakarta. Merasa kehilangan anggota keluarganya, ia melaporkan ke pihak berwajib. Namun bukan jawaban dan penyelesaian yang ia terima.Tetapi justru teror- teror gelap yang terus menerus yang ia terima. Teror itu benar-benar menghantui hati dan perasaannya. Itulah sebabnya sejak itu ia takut berurusan dengan yang berwajib. ?Biarlah penderitaan demi penderitaan itu, aku peram sendiri di bilik hatiku. Tidak perlu orang tahu. Tidak perlu disesali? Perempuan itu, mengakhiri ceritanya. Ia kembali menyeka matanya yang sembab. Seraya menerawang jauh, menatap arakan mendung, penuh makna dan misteri. Dengan lamat-lamat mulutnya kembali menyanyikan kidhung ?Ana kidhung rumeksa ing wengi?!, Begitulah dik, hanya kidhung inilah yang dapat mempertautkan jiwaku dengan jiwa-jiwa anakku!?

Aku hanya mampu menatapnya dengan penuh ketidaktahuan. Namun tiba-tiba perasaanku menyadari akan kesalahanku sendiri yang begitu tega meninggalkan ibuku sendiri, menjalani hari tuanya hidup sendirian jauh di kampung hingga ajal menutup matanya.
Yogyakarta, 5 Agustus 2008

Selalu membantu dalam setiam kerja keras adalah energi serta meramu obat herbal lamandel solusi radang amandel dalam apa sih asyiknya belajar seo?





reff : http://ottosukatno-cr.blogspot.com/2009/10/kidhungperempuan-malam.html


Video yang berkaitan dengan KIDHUNGPEREMPUAN MALAM


Related Post

Previous
Next Post »