Abstract
Usually at night nearing idul fitri, christmas, and new year is heard [by] dar der dor here and there as momentary gladness expression or euphoria, but since the year 2002 felt there are new situation at third of the moment. The eruptions do not come from officer fire arm is being protects taste bearer, also not from bomb explosion attached by terrorist. Dar der dor comes from cracker that is intentionally burned as gladness sign without thinking of effect generated. Though has not losed at all (because here and there still be heard one), cracker prohibited its use by the government, has made situation of celebration of big days become more to take a pride focus, calm, and peace. Actually where from of the cracker, does it the Indonesian culture original? Article following tries traces it.
Abstrak
Biasanya pada malam menjelang idul fitri, natal, dan tahun baru terdengar dar der dor di sana-sini sebagai ungkapan kegembiraan atau euforia sesaat, namun sejak tahun 2002 terasa ada suasana baru pada ketiga momen tersebut. Letusan-letusan tersebut bukan berasal dari senjata api petugas yang sedang mengamankan pengunjuk rasa, juga bukan dari ledakan bom yang dipasang oleh teroris. Dar der dor berasal dari petasan yang sengaja dibakar sebagai tanda kegembiraan tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan. Meskipun belum hilang sama sekali (sebab di sana-sini masih terdengar satu-satu), petasan yang dilarang penggunaannya oleh pemerintah tersebut, telah membuat suasana perayaan hari-hari besar menjadi lebih khusu, hening, dan damai. Sebenarnya darimanakah asal petasan itu, apakah ia asli budaya Indonesia? Tulisan berikut ini mencoba menelusurinya.
Kesatu
Dalam tradisi masyarakat nusantara sebelum dikenalnya petasan, untuk menyemarakkan suasana dilakukan dengan tabuhan gendang, tifa, nekara, pukulan gong, dan tarikan suara suling/terompet. Suara alat musik ini mampu mengundang perhatian masyarakat untuk mencari sumber suara yang kemudian menikmati sajian-sajian irama dan dalam perkembangan berikutnya ditambah alunan suara penyanyi, sehingga suasana menjadi semakin semarak. Pada lain suasana, ketika terjadi gerhana (Bulan maupun Matahari), sebelum petasan dikenal maka ditabuhlah segala yang dapat menimbulkan bunyi-bunyian seprti kentongan, gendang, sampai pada benturan peralatan dapur (panci yang diadu dengan sendok, misalnya). Tujuannya adalah agar raksasa yang menelan bulan atau matahari mau memuntahkannya kembali. Dalam hal penyampaian informasi, penggunaan kentongan menjadi alat komunikasi. Bunyi kentongan selalu bervariasi berdasarkan peristiwa yang sedang terjadi. Inilah gambaran bahwa petasan bukan asli budaya Indonesia karena petasan tidak pernah terdengar setidaknya sampai dengan abad ke-17. Petasan mulai dikenal ketika imigran asal dataran tiongkok mendatangi nusantara sebagai pemukim tetap.
Kedua
Awalnya kedatangan orang-orang Tiongkok ke nusantara adalah dalam rangka barter komuditi pedagangan. Dalam proses perdagangan tersebut terjalin hubungan antara masyarakat nusantara dengan para perintis komunitas Tionghoa ini nantinya. Barter perdagangan ini sudah berlangsung sejak zaman kerajaan Sriwijaya abad 6-7. Pada waktu itu kapal dagang mereka bergantung kepada arah angin yang akan mebawa mereka kepada tempat asalnya. Selama menuggu datangnya angin tersebut, mereka kemudian membangun gudang-gudang penyimpana barang dagangan juga mendirikan tempat-tempat ibadah sampai kemudian ada yang menetap dan membangun komunitas serta menularkan kebudayaanya. Ketika komunitas telah terbentuk aktifitas mereka yang merupakan tradisi ketika masih di dataran Tiongkok juga dilanjutkan di tempat yang baru. Diantara tradisi yang mereka tularkan adalah dIbidang teknologi pembuatan makana-makanan khas yang kemudian dikenal dengan sebutan mi, bakso, siomay, capcay, cingcau, dan bakpao. Juga ditularkan teknologi pembuatan penggilingan tebu, bakiak, perlengkapan masak seperti anglo dan wajan, serta peralatan makan diantaranya sendok bebek, alat ukur dan hitung swipoa dan dacing bahkan kerajaan majapahit mengembangkan teknologi pembuatan kapalnya atas bantuan para bekas tentara Mongol. Di bidang pertanian komunitas Cina juga memberikan konstribusi seperti pengenalan tanaman kacang hijau, lobak, kucai, lengkeng, pecai, caisim, lokio, dan kailan. Alam kepercayaan ethnis Cina juga turut dilebur diantaranya penggunaan uang logam untuk jimat dan membunyikan petasan untuk suatu tujuan tertentu. Salah satu kebiasaan orang Cina adalah menyulut petasan. Di negeri asal mereka petasan dibunyikan dengan maksud mengusir segala malapetaka yang disebabkan oleh gangguan jin, setan, ataupun hantu. Petasan mulai digunakan di daratan Cina pada abad ke-9 (intisari, Oktober 2002:25). Pada waktu itu sedang mewabah suatu penyakit di tengah-tengah masyarakat. Kebiasaan masyarakat Cina apabila mengusir malapetaka selalu dilakukan dengan memukul benda-benda yang suranya nyaring seperti seng, tambur, dan gendang (Ibid). Perilaku sepeti ini diyakini dapat mengusir sumber malapetaka tersebut. Alam kepercayaan masyarakat Cina sarat dengan hal-hal mistis diantaranya bahwa para leluhur mereka yang telah meninggal dunia mampu memberi perlindungan kepada keturunannya, mereka juga mempercayai pengaruh tanggal hari lahir terhadap nasib seseorang. Demikian pula arah dan posisi rumah terhadap keberuntungan pemiliknya, yang terakhir ini lebih dikenal feng sui. Timbulnya wabah penyakit dan malapetaka lainnya dipercaya dilakukan oleh mahluk jahat yang berasal dari roh orang-orang yang dianggap sesat selama hidupnya ataupun oleh mahluk hidup lainnya seperti setan, jin, hantu dan sebagainya. Setelah ditemukan petasan, maka sumber suara yang tadinya dari hasil memukul benda beralih kepada menyulut petasan atau mercon. Kelebihan petasan ini dapat dilemparkan kesetiap sudut untuk mengusir para mahluk halus yang jahat. Suara petasan yang menggelegar dan berentetan di yakini sanggup mengusir mahluk pengganggu tersebut.
Ketiga
Meskipun tidak jelas sejak kapan petasan dibawa ke nusantara, tetapi bahwa para imigran Cina meninggalkan tanah leluhurnya juga membawa kebiasaan mereka termasuk menyulut petasan, dapat menjadi suatu indikator bahwa segera setelah petasan digunakan (abad ke-9) di Cina, maka di nusantara pun juga dilakukan hal yang sama mengingat ethnis Cina sangat lekat dengan kebiasaan dan tradisi mereka. Satu-satunya informasi (setidaknya sampai ditulis artikel ini) tentang penggunaan petasan di nusantara adalah bahwa sesudah tahun 1650 penguasa VOC berulangkali mengeluarkan larangan memasang petasan, terutama di bulan-bulan Desember, Januari, dan Februari. Alasan VOC adalah selain faktor keamanan (tampaknya pihak VOC sulit membedakan antar letusan senjata api dengan ledakan petasan) juga tidak jarang terjadi kebakaran akibat petasan yang dilemparkan. Pada waktu itu rumah-rumah penduduk umumnya dari bahan bambu dan beratap rumbia sehingga sangat rentang terhadap kebakaran (Ibid).
Petasan yang dibawa ethnis Cina ke nusantara juga turut melebur dalam kebiasaan dan dijadikan bagian dari kebudayaan masyarakat setempat. Hanya saja petasan bagi masyarakat lokal bukan digunakan untuk mengusir setan, jin, roh jahat, dan mahluk halus lainnya, melainkan petasan digunakan sebagai pelengkap pelaksanaan suatu upacara atau hajatan. Masyarakat Betawi (merujuk kepada suku bangsa asli yang bermukim di sekitar bekas Kerajaan Sundakelapa atau di sekitar Batavia) sekarang dalam wilayah DKI Jakarta maupun sebagian daerah Bekasi kemudian menyebar sampai ke bekas wilayah Kerajaan Pajajaran (Bogor dan Bekasi) -sekarang dalam wilayah Prov.Jawa Barat) dan Tangerang di wilayah Banten, menjadikan petasan sebagai bagian dari simbol dilaksanakannya upacara juga merupakan undangan atau pemberitahuan akan diadakannya suatu hajatan. Irwan Syafei dalam Alwi Shahab (2002 : 88) mengungkapkan semakin banyak petasan yang dibunyikan seseorang yang akan melakukan hajatan maka semakin dipandangi dan dipuji. Ini mengindikasikan bahwa petasan mampu memberi identitas khusus dan mengangkat status sosial kepada si penyulut (tetapi sekali lagi ini dalam rangka suatu hajatan).
Bunyi petasan yang merupakan pemberitahuan atau undangan ini akan berentetan pada saat sesudah waktu Shalat Subuh (kurang lebih pukul 5.00 WIB) yang kemudian akan diulang lagi pada puncak acara. Hajatan yang sering diiringi petasan menurut Alwi Shahab (2002) yaitu sunatan, perkawinan, maulidan, isra? mi?raj, dan menunaikan ibadah haji. Dalam suasana pagi, bunyi petasan mampu terdengar sampai sejauh 3-4 km dari pusat suara, apalagi jika petasan yang digunakan jenis petasan impor seperti petasan Jepang yang gelegar rentetan letusannya lebih kuat dapat terdengar sampai 5-6 km.
Penggunaan petasan sebagai undangan dilatarbelakangi oleh kondisi permukiman pada masa itu. Sampai dengan tahun 1940-1950-an kondisi pemukiman masih jarang, sebuah perkampungan di Jakarta masa itu hanya terdapat 6-7 rumah yang dikelilingi oleh rimbunan pohon buah-buahan seperti durian, mangga, manggis, salak, rambutan dan sebagainya. Jarak antara perkampungan yang satu dengan kampung lainnya antara 1-2 km, dengan kondisi seperti ini, maka penggunaan petasan sebagai pemberitahuan dan undangan memang efektif dibanding sebelumnya yang menggunakan kentongan yang harus bersahut-sahut agar terdengar sampai jauh.
Produk petasan lokal yang terkenal adalah buatan Parung Kabupaten Bogor, petasan ini sudah diproduksi sejak abad ke-18 pada masa pemerintah Hindia Belanda. Petasan lokal ini kemudian mendapat gelar ?petasan kampung?. Adapun petasan impor yang disebut petasan Jepang banyak dijual didaerah Glodog, Senen, Tanah Abang, dan Mester (Jati Negara). Kelebihan petasan Jepang ini selain suaranya yang keras dan nyaring, harganya relatif mahal pada waktu itu, sehingga siapapun yang menggunakan petasan impor ini akan semakin naik status sosialnya (yang sebenarnya gengsi sosial).
Keempat
Petasan yang terdiri dari bubuk mesiu, gulungan kertas, dan sumbu sebagai tempat menyulut juga mengalami perubahan bentuk dan pewarnaan. Bentuk petasan juga beragam mulai dari petasan cabai (Petasan kecil yang dirangkai sehingga apabila sumbunya disulut akan berbunyi berentetan), petasan sedang dan petasan besar. Untuk petasan sedang dan besar juga digunakan tanah liat kering pada alas petasan, gunanya untuk menghambat tekanan udara sehingga memberi efek ledakan yang besar. Pewarnaan pada petasan hanya memenuhi unsur daya tarik bagi pembeli yang juga terkadang diberi hiasan gambar tokoh-tokoh kartun dan sebagainya, juga bergantung pada kreatifitas pembuatnya. Ada lagi jenis petasan yang bukan ditunjukan untuk menampilkan daya ledaknya tetapi unsur keindahannya seperti kembang api, petasan kupu-kupu, dan petasan roket. Kegunaan petasan ini adalah memperlihatkan unsur keindahan dengan pancaran sinar yang berwarna. Petasan jenis ini sering digunakan pada momen-momen penting seperti pada pembukaan pertandingan dan perlombaan olah raga, penyambutan tahun baru, dan malam penyambutan hari-hari besar agama.
Mudahnya memperoleh petasan, menjadi penyebab terjadinya disfungsi petasan tersebut. Jika sebelumnya petasan dipasang pada acara-acara dan maksud tertentu, maka dalam perkembangannya kemudian penggunaan petasan menjadi luas dan tak terkendali. Seringkali petasan sengaja diledakan dengan maksud memberi kejutan kepada orang lain. Lebih tragis lagi petasan juga diledakkan diantara rangkaian kendaraan hias pada malam takbiran yang sebenarnya mengundang bahaya. Ledakan petasan di bawah kendaraan bisa mengagetkan sopir sehingga dalam keterkejutan laju kendaraan bisa tidak terkendali, belum lagi apabila petasan meledak tepat di bawah tangki bahan bakar kendaraan yang tentu saja efek ledakannya bisa berakibat fatal jika terjadi kebocoran pada tangki tersebut. Jika ini terjadi maka bukan cuma ledakan petasan yang terdengar tetapi juga gelegar ledakan kendaraan dan kobaran api. Belum lagi orang yang terkena serangan jantung akibat ledakan petasan. Anehnya si penyulut petasan malah tertawa terbahak-terbahak. Inilah yang disebut euforia sesaat yang tidak terkendali sehingga berdampak merugikan. Oleh karena itu upaya pemerintah yang mengeluarkan larangan penggunaan petasan untuk tujuan euforia tersebut, patut mendapat dukungan msyarakat secara luas sebab dampak yang diberikan lebih banyak unsur negatifnya daripada positifmya.
Tulisan Alwi Shahab (2002:89) dibagian akhir artikel ?Komunikasi Petasan? mengungkapkan pendapat masyarakat yang kontra petasan bahwa memasang petasan adalah perbuatan mubazir, membuang uang tidak pada tempatnya. Lebih baik uang tersebut digunakan untuk membantu fakir miskin, membangun dan membantu madrasah, serta menunjang kegiatan yang lebih bermanfaat. Patut mendapat acungan jempol dan dukungan secara luas. Kalau pemerintah memang bertekat ingin mengendalikan penggunaan petasan, maka aparat keamanan hendaknya tidak hanya menertibkan pedagang petasan saja, tetapi tempat-tempat pembuatannya juga perlu ditutup, kalau perlu dikenakan sanksi yang berat bagi produsernya. Kini jelaslah bahwa ternyata petasan bukan asli budaya Indonesia, dia adalah budaya asing yang diadopsi oleh masyarakat kita. Bagaimanapun masih lebih indah dan merdu mendengarkan suara alat musik tradisional seperti kentongan, angklung, calung daripada dar...der...dor.
Bahan Rujukan
Intisari, edisi oktober 2002.
Jakarta:PT.Intisari Mediatama
Shahab, Alwi. 20002.
Robin Hood Betawi.Cet.II. Jakarta : Republika.
reff : http://passompe-w171a.blogspot.com/2009/09/petasan-m.html
EmoticonEmoticon