ROLLER COASTER JURUSAN PESANTREN



?Pada akhirnya kehidupan adalah belajar menikmati ketiadaan?.?

?IT IS SMACKKK DOWN?!?
Itu kalimat yang gue inget saat pertama kali gue masuk pesantren. Gue ditempatin di kamar yang penghuninya penggila smack down. Saat itu, sebagai pendatang baru, gue langsung dikerumini, ditarik, dan dilempar rame-rame kayak karung goni. Ketua smack down kamar gue namanya Dedi, dia sangat terobsesi pada salah satu pemain smack down The Rock. Dia suka berpose gaya the Rock dengan hanya memakai daleman aja. Setelah gue dismack gue resmi jadi anggota kamar dan gue juga berhak smack orang lain, pas ada anak baru masuk kamar, gue langsung tarik dia dan melemparkannya ke kasur,  gue smack sampe pingsan. Tapi? akhirnya gue tahu yang gue smack bukan anak baru melainkan ustadz.

Alhasil, hari pertama masuk pesantren, gue langsung dipanggil kiyai. Gue masih beruntung gak kena hukuman karena masih anak baru. Di pesantren, hal yang paling berharga adalah punya rambut indah. Hukuman dipesantren berupa pembotakan, kalau ngomongnya gak pake bahasa arab atau inggris maka urusannya botak. Gue adalah santri yang paling jarang punya rambut, karena gue masih hobi pake bahasa sunda slank. Gue bahkan punya tugakan botak. Rambut gue belum tumbuh tapi gue buat kesalahan lagi dengan memakai sandal ustadz Isnen pas dia lagi jumatan.
Ngomongin soal sandal, di pesantren sandal adalah topik bahasan yang gak ada habisnya. Kehilangan sandal udah jadi hal biasa. Ada masa dimana sandal menjadi hal yang langka di pesantren gue, ada sekitar 200 santri putra dan saat itu 96% dari mereka kehilangan sandal dan 4% ketuker sama sandal santriawati. Saking rawannya kehilangan sandal, sandal diperlakukan secara terhormat di pesantren.
Gue punya banyak kenangan indah bersama sandal jepit, gue pernah tidur bareng , makan bareng, ngaji bareng, ketawa bareng, sampai pada akhirnya sandal itu pulang ke pemilik aslinya? Ustadz Isnen.
Selain sandal, pesantren kami juga pernah dilanda (kepunahan sepatu). Sepatu menjadi barang langka. Banyak temen gue yang sekolah memakai sepatu bola. Kebayang, kan? Pake koko, kepala botak, celana bahan, bawahnya sepatu bola. Udah kaya Zidane nyalon RT. Tapi kalau gue beda, gue gak punya sepatu bola, pas mau sekolah gue korek lemari, gue nemuin sepatu boot. Ya, maap bagian ini harus gue sensor.
Enam tahun gue di pesantren, bagi gue pesantren adalah tempat penanaman karakter. Enam tahun gue dikurung, walau kehidupan gue hanya tiga hektare, gue nemuin banyak pengalaman dan cerita menarik. Nah, sebelum gue cerita lebih jauh ada baiknya, gue bahas dulu sedikit tentang pesantren.
Di pesantren gue, ada organisasi pengurus santri. Ya, kalau di SMP atau SMA biasa disebut OSIS. Nah, kalau di pesantren gue, namanya Mudabir, mereka adalah kakak kelas tingkat akhir, mereka yang bertanggung jawab atas ketertiban kehidupan santri di pesantren. Para Mudabir ini sangat dihormati dan ditakuti oleh kalangan santri. Mereka yang memberi hukuman, membotak, menjemur, menghapal, dan nyuruh beli bakwan.
Di bawah mudabir ada santri biasa. Mereka adalah santri tingkat bawah, dari kelas satu MTS sampai satu Aliah, sedangkan kelas dua Aliah menjabat sebagai ketua kamar. Ustadz dan kiyai berada di tingkat atas, mengatur tingkah laku seluruh santri. Juga mengontrol buah manga pesantren dari santri kelalawar. Kalau dibuat diagram maka akan seperti ini:
Nah, itulah sekilas tentang kehidupan di pesantren. Makan? Oya, Lo pada yang pengin masuk pesantren, pasti nanyain soal makanan. Tenang aja, walau makanan di pesantren sederhana tapi gak beracun kok. Buktinya gue masih hidup. Tapi kalau lo mau makan enak di pesantren, ikuti aja cara gue. Pas mau berangkat sekolah usahain lo lewat orang tua santri yang lagi jenguk anaknya, lo langsung pura-pura ngaku anak haram bapaknya, pasti dikasih tabokan rantang nasi timbel.
***
Alasan kenapa orang tua gue masukin gue ke pesantren sangat sederhana biar gue rajin pake baju koko dan sarung kalau solat. Waktu gue masih SD gue sering dibelikan baju koko dan sarung, gue juga suka memakai tuh baju, tapi kata ibu, gue salah dalam mengfungsikan baju koko itu. Ya, gue pake baju koko pas mau maen layangan, dan sarung pas gue maen ninja-nijaan. Gue sempat kaget pas ortu bilang bahwa gue bakal dimasukin ke pesantren.
?Ori? sini, ibu sama bapak mau ngomong,? kata ibu gue.
Saat itu gue baru datang mulung layangan putus di pabrik tahu.
?Ada apa, Bu,? gue mengernyitkan dahi.
?Begini? Ibu sama bapak mau masukin kamu ke pesantren, Ri.?
Hening, gue berpikir keras. Bukan, bukan antara mau atau tidak, tapi mikirin apa itu pesantren?
?Pesantren itu apa, Bu??
Ibu gue seperti memikirkan kata yang tepat untuk diucapkan, agar gue gak nolak tawarannya.
?Pesantren itu? kayak Dupan, Ri. Asik pokoknya, banyak orang. Tapi Ori di sana harus rajin pake koko dan sarung.? Yang jawab bapak gue.
Gue lihat ibu kaget mendengar jawaban bapak.
Sementara itu gue diam. Ngebayangin suasana pesantren. Orang-orang rame naik Histeria dengan memakai sarung dan baju koko, sesekali sarung mereka tersingkap. Akhirnya gue setuju, dengan keputusan ortu. Dalam benak gue yang penting di pesantren, gue masih bisa naik hysteria dan roller coaster tiap hari.
Malamnya sebelum diantar ke pesantren. Gue memasukan barang-barang kedalam koper. Memilah mana yang layak di bawa dan tidak. Saat gue sibuk memilah. Terdengar suara pintu terkuak, ibu masuk ke dalam kamar dan duduk di sebelah gue.
?Ori, nih ibu kasih tahu yang sebenarnya. Pesantren itu, tempat dimana orang belajar ilmu agama. Di sana Ori akan dididik menjadi manusia yang mengerti agama,? kata ibu.
?Berapa lama Ori di pesantren, Bu??
Ibu tersenyum, menyejukkan hati.
?Sampai kamu mengerti akan arti kehidupan, Nak,? jawab ibu.
Kedua mata gue berkaca-kaca. Ibu tersenyum. Gue langsung memeluknya. Dan menengis, terisak-isak.
?Bu, tar kalau udah nyampe pesantren, beli tiketnya yang banyak ya bu, biar naek roller coasternya puas,? kata gue di sela isak.
??.?
***
Besoknya, gue keliling rumah tetangga untuk salaman sekalian berharap ada yang mau ngasih tambahan duit. Gue berangkat dari rumah, nyemper temen gue namanya Hardi, dia temen SD gue yang juga mau masuk pesantren. Sesampainya di rumah Hardi, keluarga gue disambut. Ibunya Hardi terlihat sangat senang karena gue satuju masuk pesantren. Minimal gak ada lagi yang nerobos kebonnya buat nyari layangan.
?Ori? alhamdulliah kamu mau juga masuk pesantren. Nah, Bu haji punya ini buat Ori,? Ibunya Hardi mengeluarkan dua ember dari rumah.
?Satu buat Hardi dan satu buat Ori,? kata Ibunya Hardi.
Gue bingung buat apa ember itu? tanpa menolak gue dan Hardi naik mobil sambil menengteng ember kayak warga Ethiopia nyari sumber air. Hardi masih diam, ia terlihat pasrah dan bersikap dingin. Ia melalangkan pandangan ke luar jendela mobil. Orang tua gue sibuk ngobrol dengan kelurga Hardi.  Lagu Samson ?kenangan terindah? mengalun dalam mobil mini bus. Tapi tak ada waktu untuk mengenang layangan gue. Saat itu gue berpikir hidup gue akan lebih sulit soalnya jauh dari ortu. Ini lah kisah gue, kisah si santri yang nyari roller coasterdi pesantren.
***
Minggu pertama di pesantren, gue kayak bule dari Jamaika yang kesasar di Arab Saudi. Semua orang di pesantren ngomongnya pake bahasa Arab, sementara gue plenga-plongo kaya orang amnesia. Satu-satunya kata bahasa Arab yang gue bisa adalah SA?AQDI yang artinya MAU BOKER. Setiap gue ketemu ustadz atau kakak kelas dan mereka ngomong bahasa Arab, maka gue jawab sa?aqdi. Kira-kira ini terjemahan percakapan minggu pertama gue di pesantren.
Kakak kelas     : Ori apa tujuan hidup kamu?
Gue                 : Mau boker.
Selanjutnya ini percakapan gue sama ustdaz Isnen pas dia lagi ngajar.
Ustadz Isnen   : Baiklah, mungkin kita sudahi dulu pelajaran hari ini, buat Ori kamu masih ingat apa yang harus dikerjakan buat minggu depan?
Gue                 : Mau boker.
*PLAKKK*
Ya, bahasa menjadi kendala besar bagi gue. Gue gak bisa berkomunikasi sama manusia dan hantu di pesantren itu. Di sana kuntilanak pun berbahasa Arab. Kalau penampakan agak sedikit beda dari kuntilanak kebanyakan. Kuntilanak di pesantren gue kalau penampakan sambil menunggangi burung unta. Genderwonya jualan minyak wangi, pocongnya nyariin sandal yang diembat santri.
Gue tahu kalau para hantu itu berbahasa Arab pas si Hardi kesurupan. Ceritanya begini, malam itu semua santri sedang belajar bersama di aula. Gue lihat Hardi izin ke kamar mandi mungkin dia pengin buang air kecil. Ketika dia balik lagi ke aula, tiba-tiba dia kesakitan, wajahnya merah padam, tubuhnya menggeliat. Semua santri panik. Ustadz Isnen langsung membacakan doa-doa pada segelas air dan menyemburkannya ke wajah Hardi, tapi hantu dalam tubuh Hardi makin beringas gigitin sandal sambil ngoceh bahasa Arab.
?Bau?! Bau?! Hentikan,? hantu itu mulai berkomunikasi.
?Wah pasti si Hardi kencing sembarangan tadi?,? ustadz Isnen mulai berasumsi.
?Bukan Hardi tapi mulut lo bau?!? Hantu itu semakin berteriak.
Semenjak kejadian itu gue merasa minder sama hantu yang lancar ngoceh bahasa Arab. Setelah tiga bulan gue mulai menguasai beberapa kosa kata. Tapi menurut teman-teman gue, kosa kata yang gue hapal jarang banget dipake di pesantren. Berikut kosa kata yang gue hapal. (Mangge, Mapele, Je, Vous, quatre) sapai akhirnya gue tahu kalau itu adalah kosa kata bahasa prancis. Gue salah beli kamus.
Kemajuan berbahasa Arabnya si Hardi lebih cepat dari gue. Dia udah pinter ngoceh bahasa Arab, mugkin gara-gara kesurupan itu. Gue sampe berharap ada hantu yang mau masuk ke tubuh gue, tiap hari gue kencingin pohon palem tapi gak ada hantu yang minat. Hampir tiap hari gue masuk mahkamah bahasa, dapat hukuman atas pelanggaran yang gue buat.
Semua hukuman udah gue rasain. Dijemur, dibotak, suruh ngafal, bersihin pohon palem bekas kencing gue, dan masih banyak lagi. Pada suatu malam gue masuk mahkamah bahasa lagi. Kakak mudabir udah siap ngehukum gue.
?Ori lagi? Ori lagi? kamu niat gak sih belajar di pesantren? Ini udah hampir setahun dan kamu belum juga berbahasa Arab,? Kata kakak Mudabir dengan bahasa arab yang luwes.
?Mau boker? Ka,? hanya itu jawaban gue sambil ngangguk.
Kakak mudabir mulai pusing mikirin satu kosa kata sesat gue. Dia akhirnya bicara pake bahasa Indonesia.
?Gini? Ori saya akan bacakan kesalahan kamu. Banyak mata-mata yang mencatat kesalahan berbahasa kamu,? kata Kakak mudabir.
Ini catatan kesalahan berbahasa gue.

CATATAN KESALAHAN BERBAHASA

Nama           : Ori
Kelas           : 1 MTS
Ngomong    : Kuntilanak kamprettttt? cepet masukin tubuh gue!!!
Tempat        : Pohon palem
Kegiatan      : Kencing
Waktu          : Tiap pagi


?Itu kesalahan kamu, Ri.?
?Ya.. ka saya nerima kesalahan saya. Berikan saya hukuman Kak.?
?Hukuman buat kamu udah habis. Lihat kepala kamu udah kaya cimol kurang bumbu.?
Kakak mudabir terlihat sedang berpikir.
?Gini aja, Ri. Kamu punya waktu satu minggu buat nyari dua ekor nyamuk . Satu betina dan satu jantan, bawa mereka kemari dalam keadahan hidup dan sayap utuh,? kata kakak mudabir.
Gue nelen ludah. Dari hari itu, gue kayak tuyul nyelonong ke setiap penjuru kamar, bawa-bawa aqua gelas, nengkepin nyamuk. Yang gue tahu nyamuk betina itu yang suka gigit manusia, sementara nyamuk jantan yang suka gigitin sandal. Satu minggu kemudian gue udah dapet keluarga nyamuk. Sampe larva-larvanya gue ambil biar kakak mudabir puas. Tiba waktunya gue setor nyamuk, kakak mudabir nyuruh gue memilah dari keenam ekor nyamuk itu, manakah nyamuk yang homo?
Gue pingsan.

***
Roller coaster? I was totally tricked?! Pesantren tidak seperti apa yang ada di benak gue. Gak ada roller coaster di pesantren, gue ditinggal sama ibu bapak gue. Gue masih inget pesan ibu gue pas mau ninggalin gue di pesantren. Ia membelai mesra kening gue, saat itu kedua bola mata gue mulai basah, sakit rasanya kaki gue keinjek sepatu high hill-nya.
?Ori jaga diri kamu baik-baik, ya,? itu kata ibu.
Gue ngngguk jambil nuangin betadin ke kaki gue.
Sebagai anak labil, gue pernah mengalami masa-masa dimana gue kangen ibu dan bapak. Sama seperti teman-teman gue lainnya. Banyak dari mereka yang menagis karena ditinggal orang tuannya. Gue? Gak dong? gue gak bakalan nangis kaya mereka. Maksud gue gak nangis terang-terangan kaya mereka? ya itu lebih tepatnya. Gue punya teknik nangis di pesantren kalau lagi kangen rumah, tanpa menurunkan kadar kelelakian gue.
Teknik pertama, mengis lah di bawah bantal. Gue sering lakuin teknik ini. Ketika semua orang sudah terlelap tidur, itu saat yang tepat untuk nangis. Pernah suatu malam gue kangen banget sama ibu. Gue ambil foto keluarga gue yang lagi nyabutin singkong di kebon. Bagi gue itu foto paling indah. Gue nangis di bawah bantal. Selang beberapa menit, gue mendengar suara gaduh di luar kamar.
Gue mengintip dari balik jendela, ada rombongan santri yang dipimpin oleh ustadz Isnen, mereka seperti tengah mencari sesuatu. Cahaya senter berayun-ayun menyapu sudut gedung asrama gue. Mereka semakin mendekat, lalu mengetuk pintu kamar gue.
?Ia ustadz ini ada apa?? Tanya gue heran.
?Begini, Ri akhir-akhir ini di pesantren kita suka ada suara aneh. Kayak babi ngelahirin. Takutnya ada babi dari hutan yang masuk komplek, Ri. Kamu gak denger suara aneh gitu, Ri?? Tanya ustdaz.
?Gak? tuh, tadz,? jawab gue sambil menyeka air mata.
?Oh tadi suaranya dari kamar ini, Ri.?
?Ori gak denger Tadz,? jawab gue, mulai keringetan.
Ya? itu terakhir kali gue pake teknik nengis di bawah bantal dan gak ada lagi rombongan ustadz Isnen yang nyariin babi bunting.
Teknik kedua. Menangis lah di dalam air. Gue pernah memakai teknik ini pas mandi. Di pesantren, kebersamaan itu penting, termasuk dalam hal mandi. Satu kamar mandi dapat memuat jemaah sebanyak lima belas orang. Ada istilah, apa pun dapat terjadi di dalam kamar mandi.
Saat itu, ada sekitar enam orang yang mandi bareng sama gue. Tiba-tiba pas mandi gue kangen sama layangan gue. Gak kuat rasanya gue pengin nangis. Gue manfaatin momen-momen itu. Ada bak air panjang yang penuh terisi. Gue celupin kepala gue dan nagis sepuasnya.
?Tolong?! Tolong?! Ada santri baru yang mau bunuh diri?!? Teriak enam santri di sebelah gue.
Semenjak kejadian itu, gue gak lagi memakai teknik menangis dalam air.
Nah, teknik yang terakhir ini sangat mudah. Nangis pas berdoa? biar gak ketahuan kalau gue lagi kangen keluarga. Gue biasa nangis sambil baca doa. Jadi keliatannya gue khusuk berdoa. Gue nangis pas lagi baca doa buka puasa.
Pesantren memang memisahkan gue dari orang tua. Tapi gue tahu, maksud orang tua gue masukin gue ke pesantren, biar gue terbiasa akan ketiadaan. Semua yang gue miliki termasuk keluarga dan layangan gue, suatu saat mereka pasti ninggalin gue selamanya. Gue juga belajar, bahwa amal yang gak pernah putus adalah anak soleh? gue mau jadi amal itu buat kedua orang tua.






reff : http://jelip.blogspot.com/2015/04/roller-coaster-jurusan-pesantren.html


Video yang berkaitan dengan ROLLER COASTER JURUSAN PESANTREN


Related Post

Previous
Next Post »