Siapa yang sebenarnya membutuhkan sejarah?
Di kompleks Taman Sari yang nyaris runtuh, pertanyaan itu menggema di mana-mana.
Sore itu saya berada di pucuk bangunan tertinggi di kompleks Taman Sari yang sudah terpapras separuh. Bangunan tinggi ini dulu dinamai Pulau Cemeti. Dengan menaiki anak tangga setengah melingkar, yang tak ada apa-apanya dibanding tangga spiral yang kemilau di film The Lord of the Ring, saya tiba di sana.
Ketika itu matahari Jogja sudah hampir surup.
Saya berdiri di pelataran selebar 3x5 meter. Di sisi kanan dan kiri terdapat gundukan setinggi 150 cm sisa tembok yang terpangkas. Masing-masing ditempeli selempeng papan kayu bertuliskan: ?Dilarang naik!?
Tapi sekali lagi saya menyaksikan ketidakpatuhan. Mungkin rasa tidak acuh.
Di gundukan sebelah kiri, sepasang muda-mudi duduk saling bersandar. Keduanya mematut-matut diri dan memotret dirinya sendiri dengan kamera yang menyatu dengan handphone yang warnanya masih mengkilap. Di gundukan sebelah kanan, empat orang remaja putri duduk setengah melingkar. Mereka tertawa cekikikan. Salah satu di antara mereka menunjuk-nunjuk ke arah bawah.
Diam-diam saya melihat arah yang mereka tunjuk. Aha? Di bawah sana, di sebuah lorong yang kanan kirinya dibentengi tembok tua yang rapuh dan lusuh, sepasang muda-mudi sedang masyuk berpelukan.
Saya berpaling ke arah utara. Dari reruntuhan benteng setinggi gedung 5 lantai itu, pasar Ngasem terlihat jelas. Saya perhatikan jalan selebar 3 meter yang memanjang ke utara, lurus menuju bagian luar tembok Kraton Jogjakarta. Motor lalu lalang. Beberapa becak yang mengantar turis bule dikayuh pelan-pelan.
Di ufuk, langit memamerkan kanvas raksasa bersemu oranye. Dan saya, sekali lagi, bertanya: Siapa yang sebenarnya membutuhkan sejarah di sini?
Ya, di kompleks Taman Sari yang total luasnya sekira 12,6 hektar itu, masa lalu menyatu dengan begitu rapatnya dengan masa kini.
Saya pernah menghabiskan waktu selama satu jam mengelilingi kompleks Taman Sari. Saya berjalan pelahan menyusuri lorong-lorong dan gang-gang kecil yang sempit. Sejumlah rumah tua dan kusam masih bisa kita temukan, berpadu padan dengan rumah-rumah baru yang mengkilap, juga warung-warung rokok dan tentu saja beberapa pos ronda. Beberapa galeri seni kecil terbuka minta disinggahi.
Dan di antara banyak bangunan beraneka jenis itu, kita akan sering menjumpai reruntuhan tembok tua.
Di bawah reruntuhan bangunan Pulau Cemeti, di halaman sebuah rumah yang sederhana, hanya beberapa meter dari pintu gerbang Sumur Gumuling, saya pernah menemukan sebuah reruntuhan tembok yang membentuk segi empat seluas satu meter persegi. Di tengahnya ada benda yang mirip kakus. Di situ saya menyaksikan kotoran manusia yang sudah menghitam dan bau pesing yang menyengat.
?Yang silam? menyatu dengan ?yang kini? dengan cara yang khas. Di situ ada satire. Ada juga ironi.
Saya coba membayangkan: bagaimana rasanya orang-orang kampung Taman Sari tiap kali membaca papan pengumuman yang dipasang Dinas Pariwisata yang isinya meminta semua orang ikut menjaga dan merawat semua bangunan tua. Di beberapa tempat dipasang pengumuman dilarang melakukan ini dan itu.
Sepertinya mereka tidak acuh.
Jika anda memasuki kompleks Sumur Gumuling, anda akan memasuki lorong yang melingkar yang terdiri dua lantai. Di tengah lorong yang melingkar itu, terdapat punden berundak yang di atasnya tak ada atap.
Di lantai bawah, yang memang berada di dalam tanah, di sepanjang lorong yang melingkar itu, suasana terasa khidmat. Juga dingin. Saya tiba di lorong itu sekitar pukul lima sore. Tak ada pengunjung lain. Sinar matahari tak ada yang sampai. Suasana remang-remang. Saya seperti berada di ruang yang hampa sejarah, tak mengenal jam dan menit. Waktu terasa berhenti. Detik seperti enggan beranjak.
Saya masuk ke ruangan tengah tanpa atap. Saya naiki punden berundak itu. Di pucuknya, terjulur tangga berbentuk tembok yang mengantarkan saya ke lorong melingkar di lantai dua. Saya berkeliling. Suasana lebih terang. Beberapa jendela berterali membuat sisa sinar matahari sore lebih mudah menerobos masuk.
Dan di salah satu jendela itu saya menyaksikan, seorang ibu paruh baya sedang menggoreng di atas kompor. Saya longokkan kepala ke luar. Aha? ada dapur di sana! Saya lihat panci dan beberapa kuali yang pantatnya sudah menghitam digantung di paku yang menancap di tembok luar lorong itu.
Apa artinya bangunan tua bersejarah bagi seorang ibu yang menggantungkan kualinya yang penyok di tembok bangunan tua yang arsitekturnya luar biasa ini? Dan apa arti sejarah baginya?
Saya mencoba menyapanya.
?Lagi masak apa, bu??
?Gimana, mas??
?Ibu sekarang lagi goreng apa??
?Oh, goreng tempe, mas.?
Ibu ini barangkali tak tahu bahwa beberapa bagian kompleks Taman Sari baru saja dibangun kembali berkat kucuran dana bantuan dari sejumlah lembaga, dari mulai The Calooste Golbenkian Foundation dari Portugal hingga dana APBN dan APBD DIY. Tembok Sumur Gumuling yang ia tempeli kuali yang mulai penyok itu beberapa kali direnovasi berkat bantuan dana APBD DIY.
Tetapi benarkah ibu itu tak acuh?
Acuh atau tidak barangkali tak dikenal dalam kosakata para penduduk kampung Taman Sari. Penilaian tak acuh itu hanya datang dari para turis, para pelancong, para pengunjung. Seperti saya, tentu saja.
Pelan-pelan saya meragukan penilaian diri sendiri. Barangkali saya memang tak pantas menilai acuh atau tidaknya para penduduk kampung pada pemeliharaan Taman Sari.
Cukup jelas, saya memandang Taman Sari dari jarak Cartesian yang konstan: sebagai pengamat (res cogitans) yang memandang Taman Sari sebagai obyek yang diamati (res extensa). Sementara ibu yang mengoreng tempe di tembok luar Sumur Gumuling tak pernah memandang Taman Sari sebagai obyek. Sebab Taman Sari adalah bagian dari kehidupan mereka. Dari hari ke hari. Dari detik ke detik. Taman Sari berdenyut dengan kuatnya di nadi mereka.
Sementara saya datang ke Taman Sari dengan sejumput keingintahuan. Sebuntal hasrat untuk mengendusi masa silam yang telah lewat; sesuatu yang biasa kita sebut sebagai sejarah.
Tetapi sejarah siapa yang sebenarnya ingin saya ketahui?
Saya gamang menjawabnya. Saya bukan keturunan Sultan Hamengkubuwana I, II hingga X. Saya juga tak tahu, persisnya tak yakin, ada nenek moyang saya yang ikut-ikutan membangun Taman Sari.
Dibalut pengertian macam itu, tak bisa tidak saya ingat sajak ?Sebuah Kenangan Tua yang Dipanjangkan? yang ditulis teman saya, Hasta Indiryana. Biarkan saya mengutipnya.
Upik, masih ingat puisi yang sekejap kita baca?
Mungkin aku dan kamu keliru membaca huruf-huruf Tuhan,
tapi kita begitu yakin menulisnya dalam catatan."
Di sekujur sajak itu, sejarah (di)hadir(kan) sebagai ?mahluk yang mengecoh?, betapa pun pasangan ?Aku? dan ?Upik? bersikeras menangkap untuk kemudian mengabadikannya dalam ?buku sejarah, catatan harian dan cerita kepedihan?.
Sayangnya, ?Aku? dan ?Upik? adalah bagian dari satu zaman yang tak sempat lagi membaca itu semua. Betapa sia-sianya usaha mereka mengabadikan kenangan, sejarah dan masa silam. Karena itulah, sang ?Aku? pun dengan letih mencatat: ?Hmm, kita terdiam!?
Dan dalam diam yang nyaris pasrah itu, mereka hanya menemukan ?abjad-abdjad yang terbaca lamat-lamat?.
Apa artinya semua itu?
Sejarah hanya bisa dicatat jika sumber-sumber sejarah bisa memberi penjelasan faktual. Dari sumber-sumber itulah interpretasi dibangun dan hipotesis kemudian dihamparkan. Tetapi, ingat Hasta, masa silam tak pernah jelas penampakannya sebab kita tak mengalaminya sendiri. Sebanyak apa pun sumber-sumber sejarah, itu tak lebih dari ?abjad-abjad yang terbaca lamat-lamat?.
Karena itulah, menulis sejarah sebenarnya adalah laku ?mengira-ngira?. Mungkin juga membayangkan. Sebab tak ada yang persis dari narasi sejarah. ?Rekonstruksi?, kata Louis Gottschalk, tak akan pernah sama persis dengan ?konstruksi?. ?Peristiwa Proklamasi 1945? tidak akan pernah sama dengan ?cerita tentang Proklamasi 1945?.
Di sinilah Hasta tampil sebagai penyair. Alih-alih bersikeras menyusun rekonstruksi masa lalu ala sejarawan, Hasta justru menawarkan cara lain yaitu ?menulis puisi yang di atasnya bertengger burung gereja?.
Menghadirkan masa silam dalam bentuk sajak adalah sebentuk kerendah-hatian penyair akan kemustahilan menghadirkan masa silam secara presisi. Menulis sejarah adalah laku mengira-ngira dan membayangkan.
Dan sajak, barangkali, memang bentuk yang paling pas untuk merawikan sejarah. Sebab sajak adalah kreativitas manusia yang mencoba ?menyusun pengertian?, ?memilah perbedaan-perbedaan?, ?menyusun kategori? tetapi dibarengi sikap konsisten untuk (dengan meminjam rumusan Derrida) ?menundanya?, ?menangguhkannya?. Mencoba ?menangkap pengertian? tapi tetap dibarengi kesadaran bahwa hasil tangkapan itu masih terbuka pada banyak sekali kemungkinan.
Saya memang menemukan ceceran sejarah di sini, di Taman Sari yang nyaris runtuh ini.
Masa silam yang meninggalkan jejak sedikit banyak bisa saya endus bau apaknya dengan berbagai cara dengan banyak cara, dari mulai membaca sumber-sumber sejarah, dokumen, catatan, babad dan buku-buku. Kadang saya menyakininya. Kadang lebih parah lagi: saya menyusun keyakinan lewat argumen-argumen sejarah seakan-akan argumen itu sudah sahih dengan sendirinya hanya karena sudah dikonfirmasi dengan sumber-sumber yang primer.
Serpertinya saya terlalu serius membaca, memahami dan merumuskan sejarah. Tentu saja itu tak selalu salah. Itu baru menjadi bermasalah ketika keseriusan itu mengilangkan rasa awas, waspada dan juga humor. Dan karena terlalu serius, ilmiah dan tanpa humor itu, sejarah justru hadir sebagai ?mahluk asing? dan bukan bagian integral dari hidup kita sendiri.
Barangkali seperti penduduk kampung Taman Sari yang menggoreng tempe di seberang Sumur Gumuling dan menjemur pakaian dalam yang tali jemurannya terikat pada salah satu tembok Taman Sari. Di situ, sejarah hadir secara konkrit, terhubung menjadi satu persenyawaan.
Bagi ibu yang ku sapa itu, bau tempe yang digoreng itulah yang baginya adalah sejarah. Dan dirinya ada di tengah-tengahnya. Apa yang saya anggap sebagai sejarah, bagi ibu itu dan bagi segenap penduduk kampung Taman Sari, adalah diri mereka sendiri, lengkap dengan segala kuali penyok, dapur yang rudin, tangisan bayi, jemuran pakaian dalam, dan tentu saja: tempe goreng.
Saya sedikit merasa dicemooh. Perkataan ibu itu seperti berubah bunyinya menjadi: ?Jauh-jauh cuma mau lihat tempe digoreng ya??
Di pucuk pulau Cemeti yang nyaris runtuh, bait-bait sajak Hasta berdentang lebih kencang dan ucapan ibu itu seperti membuatku terpojok.
Waktu tepat menunjuk angka 17.55 wib. Dari arah utara, persisnya dari Mesjid Agung Kauman, berkumandang adzan maghrib. Tak sampai setengah menit, delapan penjuru mata angin mengumandangkan suara yang sama. Semua mesjid di sekeliling kompleks Kraton Jogjakarta memanggil para jemaah shalat Maghrib. Suara adzan berdenging dari mana-mana. Bersahut-sahutan. Telinga sedikit terasa pekak.
Mata saya nanar menatap ke utara. Lampu-lampu mulai menyala. Malam mulai menyelimuti Jogja. Saya berdiri dengan perasaan yang datar. Mungkin juga hampa.
reff : http://pejalanjauh.blogspot.com/2007/06/senja-di-taman-sari.html
Di kompleks Taman Sari yang nyaris runtuh, pertanyaan itu menggema di mana-mana.
Sore itu saya berada di pucuk bangunan tertinggi di kompleks Taman Sari yang sudah terpapras separuh. Bangunan tinggi ini dulu dinamai Pulau Cemeti. Dengan menaiki anak tangga setengah melingkar, yang tak ada apa-apanya dibanding tangga spiral yang kemilau di film The Lord of the Ring, saya tiba di sana.
Ketika itu matahari Jogja sudah hampir surup.
Saya berdiri di pelataran selebar 3x5 meter. Di sisi kanan dan kiri terdapat gundukan setinggi 150 cm sisa tembok yang terpangkas. Masing-masing ditempeli selempeng papan kayu bertuliskan: ?Dilarang naik!?
Tapi sekali lagi saya menyaksikan ketidakpatuhan. Mungkin rasa tidak acuh.
Di gundukan sebelah kiri, sepasang muda-mudi duduk saling bersandar. Keduanya mematut-matut diri dan memotret dirinya sendiri dengan kamera yang menyatu dengan handphone yang warnanya masih mengkilap. Di gundukan sebelah kanan, empat orang remaja putri duduk setengah melingkar. Mereka tertawa cekikikan. Salah satu di antara mereka menunjuk-nunjuk ke arah bawah.
Diam-diam saya melihat arah yang mereka tunjuk. Aha? Di bawah sana, di sebuah lorong yang kanan kirinya dibentengi tembok tua yang rapuh dan lusuh, sepasang muda-mudi sedang masyuk berpelukan.
Saya berpaling ke arah utara. Dari reruntuhan benteng setinggi gedung 5 lantai itu, pasar Ngasem terlihat jelas. Saya perhatikan jalan selebar 3 meter yang memanjang ke utara, lurus menuju bagian luar tembok Kraton Jogjakarta. Motor lalu lalang. Beberapa becak yang mengantar turis bule dikayuh pelan-pelan.
Di ufuk, langit memamerkan kanvas raksasa bersemu oranye. Dan saya, sekali lagi, bertanya: Siapa yang sebenarnya membutuhkan sejarah di sini?
Ya, di kompleks Taman Sari yang total luasnya sekira 12,6 hektar itu, masa lalu menyatu dengan begitu rapatnya dengan masa kini.
Saya pernah menghabiskan waktu selama satu jam mengelilingi kompleks Taman Sari. Saya berjalan pelahan menyusuri lorong-lorong dan gang-gang kecil yang sempit. Sejumlah rumah tua dan kusam masih bisa kita temukan, berpadu padan dengan rumah-rumah baru yang mengkilap, juga warung-warung rokok dan tentu saja beberapa pos ronda. Beberapa galeri seni kecil terbuka minta disinggahi.
Dan di antara banyak bangunan beraneka jenis itu, kita akan sering menjumpai reruntuhan tembok tua.
Di bawah reruntuhan bangunan Pulau Cemeti, di halaman sebuah rumah yang sederhana, hanya beberapa meter dari pintu gerbang Sumur Gumuling, saya pernah menemukan sebuah reruntuhan tembok yang membentuk segi empat seluas satu meter persegi. Di tengahnya ada benda yang mirip kakus. Di situ saya menyaksikan kotoran manusia yang sudah menghitam dan bau pesing yang menyengat.
?Yang silam? menyatu dengan ?yang kini? dengan cara yang khas. Di situ ada satire. Ada juga ironi.
Saya coba membayangkan: bagaimana rasanya orang-orang kampung Taman Sari tiap kali membaca papan pengumuman yang dipasang Dinas Pariwisata yang isinya meminta semua orang ikut menjaga dan merawat semua bangunan tua. Di beberapa tempat dipasang pengumuman dilarang melakukan ini dan itu.
Sepertinya mereka tidak acuh.
Jika anda memasuki kompleks Sumur Gumuling, anda akan memasuki lorong yang melingkar yang terdiri dua lantai. Di tengah lorong yang melingkar itu, terdapat punden berundak yang di atasnya tak ada atap.
Di lantai bawah, yang memang berada di dalam tanah, di sepanjang lorong yang melingkar itu, suasana terasa khidmat. Juga dingin. Saya tiba di lorong itu sekitar pukul lima sore. Tak ada pengunjung lain. Sinar matahari tak ada yang sampai. Suasana remang-remang. Saya seperti berada di ruang yang hampa sejarah, tak mengenal jam dan menit. Waktu terasa berhenti. Detik seperti enggan beranjak.
Saya masuk ke ruangan tengah tanpa atap. Saya naiki punden berundak itu. Di pucuknya, terjulur tangga berbentuk tembok yang mengantarkan saya ke lorong melingkar di lantai dua. Saya berkeliling. Suasana lebih terang. Beberapa jendela berterali membuat sisa sinar matahari sore lebih mudah menerobos masuk.
Dan di salah satu jendela itu saya menyaksikan, seorang ibu paruh baya sedang menggoreng di atas kompor. Saya longokkan kepala ke luar. Aha? ada dapur di sana! Saya lihat panci dan beberapa kuali yang pantatnya sudah menghitam digantung di paku yang menancap di tembok luar lorong itu.
Apa artinya bangunan tua bersejarah bagi seorang ibu yang menggantungkan kualinya yang penyok di tembok bangunan tua yang arsitekturnya luar biasa ini? Dan apa arti sejarah baginya?
Saya mencoba menyapanya.
?Lagi masak apa, bu??
?Gimana, mas??
?Ibu sekarang lagi goreng apa??
?Oh, goreng tempe, mas.?
Ibu ini barangkali tak tahu bahwa beberapa bagian kompleks Taman Sari baru saja dibangun kembali berkat kucuran dana bantuan dari sejumlah lembaga, dari mulai The Calooste Golbenkian Foundation dari Portugal hingga dana APBN dan APBD DIY. Tembok Sumur Gumuling yang ia tempeli kuali yang mulai penyok itu beberapa kali direnovasi berkat bantuan dana APBD DIY.
Tetapi benarkah ibu itu tak acuh?
Acuh atau tidak barangkali tak dikenal dalam kosakata para penduduk kampung Taman Sari. Penilaian tak acuh itu hanya datang dari para turis, para pelancong, para pengunjung. Seperti saya, tentu saja.
Pelan-pelan saya meragukan penilaian diri sendiri. Barangkali saya memang tak pantas menilai acuh atau tidaknya para penduduk kampung pada pemeliharaan Taman Sari.
Cukup jelas, saya memandang Taman Sari dari jarak Cartesian yang konstan: sebagai pengamat (res cogitans) yang memandang Taman Sari sebagai obyek yang diamati (res extensa). Sementara ibu yang mengoreng tempe di tembok luar Sumur Gumuling tak pernah memandang Taman Sari sebagai obyek. Sebab Taman Sari adalah bagian dari kehidupan mereka. Dari hari ke hari. Dari detik ke detik. Taman Sari berdenyut dengan kuatnya di nadi mereka.
Sementara saya datang ke Taman Sari dengan sejumput keingintahuan. Sebuntal hasrat untuk mengendusi masa silam yang telah lewat; sesuatu yang biasa kita sebut sebagai sejarah.
Tetapi sejarah siapa yang sebenarnya ingin saya ketahui?
Saya gamang menjawabnya. Saya bukan keturunan Sultan Hamengkubuwana I, II hingga X. Saya juga tak tahu, persisnya tak yakin, ada nenek moyang saya yang ikut-ikutan membangun Taman Sari.
Dibalut pengertian macam itu, tak bisa tidak saya ingat sajak ?Sebuah Kenangan Tua yang Dipanjangkan? yang ditulis teman saya, Hasta Indiryana. Biarkan saya mengutipnya.
"Burung gereja yang bertengger di tembok Taman Sari, Upik,
Seperti memanjangkan kenangan pada kota tua, bangunan tua
Yang rapuh dan runtuh sampai memori kita terjatuh
Di atas buku sejarah, catatan harian, dan cerita kepedihan
Yang tak sempat dibaca zaman
Bukan sebab air mata, huru-hara, atau pelopor peluru
Jikalau kepak sayap itu menggigil. Barangkali sebagaimana
Kisah yang kita kita bangun sendiri tentang bata-bata yang remuk
Berhamburan lalu kita termangu:
Adakah setiap kerusakan dimulai dengan dendam dan peperangan?
Hmmm, kita terdiam
Juga mengigil mencipta ilusi
?.
Nampak lamat abjad-abjad terbaca. Dan aku
Memburu berita dari lipatan-lipatan wajah renta dan kau
Sayu menatap atas mesjid yang berlubang, seperti ingin menulis
Puisi yang di atasnya bertengger burung gereja, sorak kumandang
Seperti memanjangkan kenangan pada kota tua, bangunan tua
Yang rapuh dan runtuh sampai memori kita terjatuh
Di atas buku sejarah, catatan harian, dan cerita kepedihan
Yang tak sempat dibaca zaman
Bukan sebab air mata, huru-hara, atau pelopor peluru
Jikalau kepak sayap itu menggigil. Barangkali sebagaimana
Kisah yang kita kita bangun sendiri tentang bata-bata yang remuk
Berhamburan lalu kita termangu:
Adakah setiap kerusakan dimulai dengan dendam dan peperangan?
Hmmm, kita terdiam
Juga mengigil mencipta ilusi
?.
Nampak lamat abjad-abjad terbaca. Dan aku
Memburu berita dari lipatan-lipatan wajah renta dan kau
Sayu menatap atas mesjid yang berlubang, seperti ingin menulis
Puisi yang di atasnya bertengger burung gereja, sorak kumandang
Dan sepi bata-bata di atas reruntuhan
Upik, masih ingat puisi yang sekejap kita baca?
Mungkin aku dan kamu keliru membaca huruf-huruf Tuhan,
tapi kita begitu yakin menulisnya dalam catatan."
Di sekujur sajak itu, sejarah (di)hadir(kan) sebagai ?mahluk yang mengecoh?, betapa pun pasangan ?Aku? dan ?Upik? bersikeras menangkap untuk kemudian mengabadikannya dalam ?buku sejarah, catatan harian dan cerita kepedihan?.
Sayangnya, ?Aku? dan ?Upik? adalah bagian dari satu zaman yang tak sempat lagi membaca itu semua. Betapa sia-sianya usaha mereka mengabadikan kenangan, sejarah dan masa silam. Karena itulah, sang ?Aku? pun dengan letih mencatat: ?Hmm, kita terdiam!?
Dan dalam diam yang nyaris pasrah itu, mereka hanya menemukan ?abjad-abdjad yang terbaca lamat-lamat?.
Apa artinya semua itu?
Sejarah hanya bisa dicatat jika sumber-sumber sejarah bisa memberi penjelasan faktual. Dari sumber-sumber itulah interpretasi dibangun dan hipotesis kemudian dihamparkan. Tetapi, ingat Hasta, masa silam tak pernah jelas penampakannya sebab kita tak mengalaminya sendiri. Sebanyak apa pun sumber-sumber sejarah, itu tak lebih dari ?abjad-abjad yang terbaca lamat-lamat?.
Karena itulah, menulis sejarah sebenarnya adalah laku ?mengira-ngira?. Mungkin juga membayangkan. Sebab tak ada yang persis dari narasi sejarah. ?Rekonstruksi?, kata Louis Gottschalk, tak akan pernah sama persis dengan ?konstruksi?. ?Peristiwa Proklamasi 1945? tidak akan pernah sama dengan ?cerita tentang Proklamasi 1945?.
Di sinilah Hasta tampil sebagai penyair. Alih-alih bersikeras menyusun rekonstruksi masa lalu ala sejarawan, Hasta justru menawarkan cara lain yaitu ?menulis puisi yang di atasnya bertengger burung gereja?.
Menghadirkan masa silam dalam bentuk sajak adalah sebentuk kerendah-hatian penyair akan kemustahilan menghadirkan masa silam secara presisi. Menulis sejarah adalah laku mengira-ngira dan membayangkan.
Dan sajak, barangkali, memang bentuk yang paling pas untuk merawikan sejarah. Sebab sajak adalah kreativitas manusia yang mencoba ?menyusun pengertian?, ?memilah perbedaan-perbedaan?, ?menyusun kategori? tetapi dibarengi sikap konsisten untuk (dengan meminjam rumusan Derrida) ?menundanya?, ?menangguhkannya?. Mencoba ?menangkap pengertian? tapi tetap dibarengi kesadaran bahwa hasil tangkapan itu masih terbuka pada banyak sekali kemungkinan.
Saya memang menemukan ceceran sejarah di sini, di Taman Sari yang nyaris runtuh ini.
Masa silam yang meninggalkan jejak sedikit banyak bisa saya endus bau apaknya dengan berbagai cara dengan banyak cara, dari mulai membaca sumber-sumber sejarah, dokumen, catatan, babad dan buku-buku. Kadang saya menyakininya. Kadang lebih parah lagi: saya menyusun keyakinan lewat argumen-argumen sejarah seakan-akan argumen itu sudah sahih dengan sendirinya hanya karena sudah dikonfirmasi dengan sumber-sumber yang primer.
Serpertinya saya terlalu serius membaca, memahami dan merumuskan sejarah. Tentu saja itu tak selalu salah. Itu baru menjadi bermasalah ketika keseriusan itu mengilangkan rasa awas, waspada dan juga humor. Dan karena terlalu serius, ilmiah dan tanpa humor itu, sejarah justru hadir sebagai ?mahluk asing? dan bukan bagian integral dari hidup kita sendiri.
Barangkali seperti penduduk kampung Taman Sari yang menggoreng tempe di seberang Sumur Gumuling dan menjemur pakaian dalam yang tali jemurannya terikat pada salah satu tembok Taman Sari. Di situ, sejarah hadir secara konkrit, terhubung menjadi satu persenyawaan.
Bagi ibu yang ku sapa itu, bau tempe yang digoreng itulah yang baginya adalah sejarah. Dan dirinya ada di tengah-tengahnya. Apa yang saya anggap sebagai sejarah, bagi ibu itu dan bagi segenap penduduk kampung Taman Sari, adalah diri mereka sendiri, lengkap dengan segala kuali penyok, dapur yang rudin, tangisan bayi, jemuran pakaian dalam, dan tentu saja: tempe goreng.
Saya sedikit merasa dicemooh. Perkataan ibu itu seperti berubah bunyinya menjadi: ?Jauh-jauh cuma mau lihat tempe digoreng ya??
Di pucuk pulau Cemeti yang nyaris runtuh, bait-bait sajak Hasta berdentang lebih kencang dan ucapan ibu itu seperti membuatku terpojok.
Waktu tepat menunjuk angka 17.55 wib. Dari arah utara, persisnya dari Mesjid Agung Kauman, berkumandang adzan maghrib. Tak sampai setengah menit, delapan penjuru mata angin mengumandangkan suara yang sama. Semua mesjid di sekeliling kompleks Kraton Jogjakarta memanggil para jemaah shalat Maghrib. Suara adzan berdenging dari mana-mana. Bersahut-sahutan. Telinga sedikit terasa pekak.
Mata saya nanar menatap ke utara. Lampu-lampu mulai menyala. Malam mulai menyelimuti Jogja. Saya berdiri dengan perasaan yang datar. Mungkin juga hampa.
reff : http://pejalanjauh.blogspot.com/2007/06/senja-di-taman-sari.html
EmoticonEmoticon