Tuesday, May 3, 2016

Bipolar 1, Lelap.

"Bipolar Disorder adalah  gangguan mental yang menyerang kondisi psikis seseorang yang ditandai dengan perubahan suasana hati yang sangat ekstrim berupa mania dan depresi".


Selasa, Dini Hari, Kamar Gelap.
"Yup.... Saat ku tiada tak ada yang peduli juga haha" Hati kecilku berbicara sendiri untuk terakhirnya. Hari itu adalah hari yang sungguh indah untuk semua orang terkecuali denganku. Aku berada di tengah - tengah udara sekarang. Rasanya badanku menjadi hampa sekarang. Ringan, tidak seperti biasanya. Lihatlah orang - orang di bawah sana, Mereka memperhatikanku. Seperti benda asing yang jatuh dari langit. Hanya saja benda ini mereka lihat setiap hari dengan rupa yang berbeda. Beberapa dari mereka menjerit histeris melihatku di saat ini. Daratan terlihat jelas kali ini hanya saja aku berada beberapa meter di atas mobil yang menghalangi aspal itu. "Brakkk....!!!!" Sirene mobil menyala kencang ketika aku mendarat diatasnya lalu terjatuh kebawahnya. Aku penjamkan mata perlahan. Badanku sudah tak bisa bergerak lagi.. Cairan warna merah itu meluber dari beberapa bagian tubuhku. Kata orang, Di detik seperti ini aku akan dapat melihat semua masa laluku. Dari yang bahagia dan tidak. Oh, Memori itu muncul dalam detik terakhir ini... Berawal dari mana ya...

"Semuanya, Perkenalkan teman baru kita bernama Martha. Dia akan menjadi teman baru kalian di kelas ini". Seorang murid perempuan datang dan berdiri di sebelah wali kelas ku sambil menunduk. Seragam putih abu yang serba baru menempel di badannya. Aku tidak terlalu peduli padanya pada saat itu. Aku duduk di bangku paling belakang tempat ternyaman bagiku dalam melewati hari - hari sekolah yang begitu panjang. Perempuan itu duduk bersebelahan dengan Ratih. Hari - hari itu biasa saja. Pendapatku tentangnya, Dia cukup lucu. Kelas dimulai tepat pukul jam setengah 8 pagi. Guru masuk ke dalam kelas dan semua murid mulai merapikan diri agar tidak menjadi masalah kedepannya. Sekitar 2 pelajaran pada saat itu menuju ke jam istirahat. Bosan dengan suasana menjenuhkan ini. Karakteristik guru kimia yang menyebalkan membuat semua teman - temanku memilih untuk diam daripada memulai topik sampah mereka. Aku berdiri dari bangku tempatku duduk kemudian aku berjalan keluar kelas dan berjalan otomatis menuju ke toilet. Kunci yang cukup baik di toilet itu membantuku bersembunyi dari segala jenis guru yang tiba - tiba masuk ketika aku sedang asyik menikmati rokok yang kusimpan dalam saku. Aku bukanlah pecandu dari benda yang ku hirup itu. Aku menghirupnya saat ku merasa sedang merasa kalut. Beberapa hal datang masuk tanpa izin ke dalam kepalaku. Membuatku merasa tertekan dan sesak dada tiba - tiba. Benda ini seperti menemaniku bercerita tentang apa yang masuk dalam kepalaku. Padahal, benda ini benar - benar membuatku lemas. Kubuang benda itu ketika ada yang mengetuk pintu. Tanpa peduli dengan asap yang telah di timbulkan aku membuka pintunya dan ternyata seorang murid tengah menunggu dengan ekspresi yang sangat memelas. Aku keluar dan berjalan berkeliling sebentar sebelum masuk ke dalam kelas lagi.

Jam istirahat tiba, aku ikut berkumpul dengan yang lain di sekitar kantin. Aku hanya mendengarkan mereka saja. Kurasa, Dengan mendengar saja aku bisa mendapat banyak pengetahuan yang sebelumnya tidak ku ketahui. Aku akan berbicara pada saat aku ingin berbicara saja. Terkadang, Aku liar sekali sehingga banyak menghujat temanku yang selalu menjadi objek hujat teman yang lain. Sehingga, pernah ku di ajak berkelahi karena hal itu. Lidah ku sangat tajam ternyata. "Eh, liat tuh si Martha" ujar salah satu temanku. Semua yang sedang di sekitarku menoleh ke arah perempuan itu termasuk dengan ku. Semua nya lalu berpendapat tentang dia. Semuanya seperti di bicarakan, Setiap detail yang mendeskripsikan fisiknya. Tanpa ku memperhatikan Martha aku menjadi tau bagaimana ciri fisik dari anak baru tersebut. "Kalau kata lu gimana Dim ?". Aku menegakkan kepalaku melihat ke arah Erik yang bertanya tentang pendapatku. Ku hela napas pelan sambil sedikit melihat ke arah Martha yang sedang berada di bangku penjual soto bersama Ratih. "Biasa aja sih" jawabku singkat. Jawabanku itu membuat keheningan sementara sebelum akhirnya Erik membicarakan sesuatu tentang game online yang sedang ramai dimainkan pada saat itu. Kembali ku mendengarkan.

"Ibu, bakalan ngasih tugas ini buat kalian. Ini buat nilai UAS kalian. Tugas ini berkelompok jadi kalian harus bersiap dan semua aspek di nilai jadi semuanya harus maksimal ya". Ibu Endah sang guru bahasa Indonesia yang sangat menyukai sastra dan drama itu menyuruh kami membuat drama. Setiap kelompok berisi sekitar 6 - 7 orang. Dan anggotanya di acak sesuai apa yang di ucapkan oleh guru tersebut. Anggota kelompok ku akhirnya terisi mulai dari Ratih, Erik, Rian, Maya dan yang terakhir Martha. Ibu Endah membiarkan kan kita untuk mengeluarkan ide yang ada berada di dalam muridnya tanpa membatasinya dengan tema yang biasanya secara tidak langsung itu menjadi pagar tersendiri dalam penyaluran ide dan gagasan. Guru yang baik. Kami berkumpul untung membicarakan cerita apa yang ingin di tampilkan di sini. Semuanya terlihat membisu. Erik hanya memberikan celetukan yang tidak terlalu mendapat perhatian. "Dim, kamu kan suka bikin cerpen. Kira - kira punya ide ngga ?" Tanya Ratih memecah kebuntuan lalu menancapkan pecahan itu padaku sehingga aku menjadi kebingungan. Aku melihat sekitarku, menatap satu per satu mata anggota yang berada dalam kelompok ku. Sedang ku bayangkan bagaimana ekspresi masing - masing dari mereka. Ku teliti pola wajah mereka yang menjadi gambaran ku dalam menentukan watak mereka. Martha terlihat lebih unik, Karena aku baru saja melihatnya dan tidak terlalu mengenal dia. "Singkat aja sih, Jadi ceritanya tentang seseorang yang mencintai seorang perempuan. Perempuan itu juga di sukai oleh orang lain dan banyak banget yang suka ngerayu dia. Kurang kepikiran sih gimana cerita cintanya tapi yang jelas, laki - laki itu bunuh diri aja gara - gara depresi". Mereka memperhatikan ide ku berkembang dari satu ke yang lainnya sehingga menjadi plot cerita yang menarik. Sebagai penggagas ide nya aku bersedia menulis script dari drama itu. Dan kuputuskan yang menjadi peran utamanya adalah aku dan Martha. Mengapa ? entahlah, aku pikir drama ini membutuhkan seorang aktor yang memang paham betul dengan ceritanya dan seseorang lagi yang tidak terlalu mengenal satu sama lain meskipun pada akhirnya akan kenal juga.

Semua orang berkumpul di rumah Ratih beberapa hari setelah script yang ku buat itu telah selesai. "Oke, hari ini kita cobain dulu latihan karena ceritanya agak ribet. Jadi perlu latihan beberapa kali buat hal ini biar kita bisa mendalami peran yang kita mainin terus semua yang nonton bisa dapet pesannya dari cerita yang kita buat. oke ?". Semuanya mengangguk dan semuanya mulai berlatih dengan melihat dialog masing - masing dan aku mencoba membangun chemistry dengan aktris utamanya, Martha. Aku mulai dengan berbicara padanya tentang drama yang sedang kubuat  ini. Menjelaskan kembali detail peran yang ia mainkan. Secara garis besar, perannya ternyata tidak terlalu jauh dari watak aslinya di dunia nyata. Itu cukup melegakan karena aku hanya menebaknya dari mimik wajahnya. Cerita itu mulai diperagakan. Semua yang tidak sedang bermain memperhatikan baik dan buruknya latihan tersebut. Masih banyak juga ternyata yang harus di perbaiki dari latihan ini. Setiap gerakan, nada suara, ekspresi dan sebagainya sangat ku perhatikan kalau - kalau tak sesuai dengan kebutuhan dari cerita ini. Dan tidak terasa, Matahari telah digantikan bulan. Kami harus pamit karena tidak semuanya bisa pulang larut malam. Rumah Ratih tidak terlalu jauh jadi aku berjalan kaki saat pulang. "Mar, Gimana cerita yang aku buat ?" tanyaku pada Martha yang kebetulan searah denganku saat perjalanan pulang. Dia berjalan kaki bukan karena rumahnya di sekitar sana tetapi karena dia di jemput oleh ayahnya di perempatan lampu merah yang tidak jauh dari rumahku. "Bagus ko Dim. Cerita nya bener - bener dalem. Pengalaman pribadi ya ?." guraunya. Aku tersenyum dan melihat ke atas sebentar kemudian meluruskan lagi pandanganku. Aku bilang padanya bahwa ini hanyalah khayalanku saja. Aku belum pernah merasakan cinta seperti yang drama itu gambarkan. Aku belum pernah menemukan orang yang membuatku nyaman.
"Ayah kamu udah dateng belom ?"
"Bentar lagi kayanya, soalnya ngga di angkat nih telepon aku nya"
"Yaudah aku temenin dulu deh"
"Gapapa emang ?"
"Santai aja".
Aku dan dia bercerita tentang banyak hal.Dari mulai cerita yang pernah ku buat sebelumnya sampai akhirnya mengenai kejadian - kejadian yang pernah menimpa teman - teman sekelas. Mungkin kurang dari setengah jam aku menemaninya. Sebuah motor berhenti di depan kami dan Martha berdiri kemudian pamit. Aku Melambaikan tangan padanya tanda perpisahan. Sesampainya aku di kamar. Aku mengecek handphone ku yang cukup berisik. Grup kelompok drama ini di ramaikan oleh Erik.Sudah tidak aneh bagiku. Lalu, Aku membuka daftar anggota dari grup tersebut. Takutnya, grup yang dibuat mendadak sebelum pulang tadi tidak memasukan salah anggotanya. Nama terakhir yang berada dalam daftar adalah Martha. Aku coba memulai obrolan dengan membahas ceritaku sebelumnya. Kita ngobrol panjang pada saat itu.

Beberapa hari lagi adalah hari pertunjukan. Dimana, pada saat itu kelas dari pagi hingga siang hanya khusus untuk pertunjukan dari 5 kelompok yang berada dalam kelas ku pada saat itu. Aku cukup tegang karena masing  - masing dari anggota ku belum mengeluarkan potensi terbaiknya. Hanya aku dan Martha yang telah berperan cukup baik. Entah mengapa, Entah mulai kapan. Pada malam hari sebelum pertunjukan drama yang menentukan nilai UAS itu akan berlangsung. Kami berkumpul di rumah Ratih dan melakukan latihan terakhir dari banyak latihan rutin yang kita lakukan. Semua orang sudah berperan cukup baik . Dan kita berdo'a untuk yang terbaik agar kita tidak melakukan kesalahan. Berlebihan memang, tapi aku menyukai kesempurnaan dari sebuah pertunjukan. Kurasa,, kami semua pun begitu.

Dan... Hari pertunjukan tiba.

Bersambung.





reff : http://gelapbiasa.blogspot.com/2016/04/bipolar-1-lelap.html

No comments:

Post a Comment