Hanya mengenakan cawat sekedarnya, dua bocah tengah asyik mengadu gangsir (jenis jangkrik yang besar). Bocah-bocah sangat menyukai adu gangsir. Seorang bocah akan membanggakan diri, apabila gangsir miliknya keluar sebagai pemenang. Tidak jarang, cerita besar atau lebih tepat dibesar-besarkan seputar gangsir itu. Entah hewan kecil itu dikatakan berasal dari tokoh sakti, atau bahkan pemberian Siwa sendiri. Adu gangsir oleh dua bocah berlangsung di tepi jalan kampung. Kampung di kaki gunung yang berpenampakan memutar bulat seperti roda, dan selalu mengeluarkan asap sebagai tanda gunung berapi yang aktif. Mungkin, karena serupa dengan roda (Jantera) dan selalu berapi (Pawaka), gunung itu disebut Jantera Pawaka.
Dua bocah itu tidak memperhatikan, ada tiga orang berkuda melintas cepat dan masuk ke arah hutan yang berada pada perut gunung. Kalau saja tidak asyik terpaku pada gangsir, tentu bocah-bocah akan takjub pada tiga orang yang telah lewat. Tiga orang berkuda tadi tidak terlihat seperti orang kebanyakan. Terutama, penunggang kuda setengah baya berjubah panjang kuning dengan kepala prontos. Jelas, ia bukan asli Bhumi Mataram. Sebab, dua matanya mengecil sipit sementara kulitnya kuning samar dengan warna jubah yang dikenakan. Tidak hanya itu, kedatangan mereka ke Gunung Jantera Pawaka lebih menarik perhatian, karena gunung itu jarang didatangi orang, apalagi mereka yang merupakan golongan terpandang seperti tiga orang berkuda itu.
***
Tidak lebih dari dua penderesan nira, tiga penunggang kuda telah tiba pada lereng gunung. Sigap dan tangkas, mereka turun dari kuda dan menambat hewan-hewan tunggangannya pada pohon-pohon di tempat yang tersembunyi.
?Di sebelah selatan lereng ini, aku menyemayamkan jenasah guru pada sebuah gua.? Kata lelaki paling muda. Ia mendahului bergerak ke selatan. Dua orang lainnya mengikuti.
Tanpa kesulitan, mereka tiba pada sebuah goa di lereng selatan Gunung Jantera Pawaka. Dengan penerangan yang telah dipersiapkan, tiga orang itu memasuki gua yang gelap dan pengap. Sedikit ke dalam. kurang dari dua puluh tumbak dari mulut gua, mereka segera menemukan sesosok jenasah. Orang yang sudah sangat tua, berwajah putih pucat dan menyeramkan. Pangeran Abhipraya. Sekalipun pakaian yang membungkus tubuh telah melapuk, sosok jenasah itu masih utuh sempurna. Utuh, karena pengaruh Carmi Samudra (Samudera Kaca), pelindung diri tingkat tinggi berlambarkan pada kekuatan angin yang dikuasai sempurna oleh Pangeran Abhipraya semasa hidup.
Tiga orang itu membungkuk hormat di hadapan jenasah, bahkan seorang di antaranya menubruk dan merangkul sosok yang telah membiru beku. Ia tidak bersuara, tetapi dari dua matanya mengalir air mata. Tidak lama, ia kembali membaringkan sosok jenasah pada tempatnya semula dan mengambil posisi di sisi kiri lelaki paling muda.
?Guru, maafkan Sarkara baru sekarang dapat menyemayankan guru dengan upacara yang semestinya. Paman Pendeta Hong Mei silahkan memimpin upacara perabuan guru.? Kebisuan di antara mereka dipecahkan oleh suara lelaki paling muda yang meminta dilakukannya upacara perabuan. Sejumlah kayu dipersiapkan secukupnya, dan jenasah Pangerah Abhipraya dibaringkan di atas tumpkan kayu. Lelaki paruh baya berpakaian bangsawan menaburkan aneka bunga yang telah dibawanya. Menyusul persiapan yang selesai dijalankan, Pendeta yang dipanggil Hong Mei mengalunkan mantra-mantra perabuan. Saat perabuan pun tiba, dan bertindak sebagai penyala api adalah lelaki paruh baya berpakaian bangsawan.
?Ayah, selamat jalan. Buddha Yang Agung menanti dan akan menunjukkan jalan kembali ke dunia ini dengan penuh kemuliaan. Bilamana diperkenankan aku rela menjadi anak ayah kembali di kehidupan selanjutnya.? Tangannya bergetar saat menyalakan api pada tumpukan kayu tempat di atasnya jenasah Pangeran Abhipraya dibaringkan. Api terus merambat, kian lama kian membesar dan membakar habis kayu-kayu berikut jenasah di atasnya. Cukup lama dibutuhkan untuk melebur jenasah menjadi abu. Tiga penderesan nira kemudian api pun meredup padam, abu hasil pembakaran dikumpulkan pada sebuah bejana perak.
?Nakmas Sarkara, biarlah keris pusaka Yuyurumpung tetap pada Nakmas. Kita berbagi, aku menyimpan abu jenasah Ayah dan Nakmas menyandang Yuyurumpung, pusaka Ayahku.? Kata lelaki paruh baya berpakaian bangsawan, saat Pangeran Sarkara mengangsurkan sebilah keris kepadanya.
?Terima kasih, Paman.? Pangeran Sarkara menyelipkan keris pusaka ke punggungnya.
Sekalipun upacara perabuan telah selesai, tiga orang itu tidak segera beranjak pergi. Mereka duduk bersila di depan bekas pembakaran. Begitu saja, pembicaraan mengalir.
?Ah, segalanya begitu cepat berubah... Berubah tanpa terduga. Rencana matang yang telah disusun dengan hati-hati dan tampak membuahkan hasil yang baik, ternyata begitu tiba-tiba berubah dan mendatangkan kegagalan. Gagal karena sebuah dendam dari seorang Wajra Sasmaka Kunta dari perguruan Tombak Petir. Ia rupanya membelot dan justru berdiri bersama kekuatan Tembelang mengempur guru. Wajra Sasmaka Kunta... Yang tidak aku mengerti, mengapa guru bisa dikalahkan oleh seorang anak muda. Selain Wajra Sasmaka Kunta, anak muda itu telah menyayatkan goresan luka yang sangat mendalam... Tidak akan terhapuskan...? Gemertak suara gigi. Dendam telah mengental dan tersimpan pada nama itu.
?Nakmas Sarkara, jejak kita mungkin sudah diketahui. Atau setidaknya terus akan ditelusur telisik, tidak hanya oleh Tembelang melainkan oleh Bhumi Mataram sendiri. Wajra Sasmaka Kunta tentu telah membeberkan keberadaan kita. Tidak ada pilihan kecuali menghilang dan bersembunyi sementara waktu, dan muncul pada situasi yang memungkinkan. Dengan hati-hati dan sembunyi-sembunyi, aku akan meminta anakku di Poh Pitu untuk tidak gegabah dan menutup mulut. Masih berada di bawah kendali Paman sejumlah prajurit Suarnadwipa yang urung menyerang Tembelang. Paman akan menyebar dan membagi mereka ke dalam bagian-bagian kecil, berhati-hati menempatkan bagian-bagian itu di beberapa daerah, dan terus menjaga kontak di antara kelompok-kelompok. Terpenting, kita harus cepat menemukan Nyai Taragnyana dan merangkulnya kembali bergabung. Kekuatannya masih akan kita butuhkan.? Lelaki separuh baya berpenampilan bangsawan itu mengutarakan pendapatnya.
?Aku sepenuhnya setuju dengan apa yang Paman katakan. Aku sendiri akan melepaskan peran kuwadéan banija (pedagang kain). Wujud itu sudah tidak berguna, bahkan membahayakan. Aku akan kembali kewujud semula, dan menemui ayahku, Cri Wairiwarawiramardana. Aku sepenuhnya yakin bahwa peristiwa di Gurung Welirang itu sungguh-sungguh telah menjadikan aku sebagai korban. Nah, aku akan mengenakan kembali wujud Pangeran Sarkara dengan beberapa perubahan sebagai korban pembunuhan. Dengan perubahan itu, aku yakin Ki Wajra Sasmaka Kunta pun tidak akan lagi mengenali diriku. Bila tidak berkeberatan Paman Pendeta Hong Mei, bisa bersamaku. Biar aku mengatur segala sesuatunya untuk mengapus jejak sesungguhnya Paman Hong Mei.? Pangeran Sarkara menatap Pendeta Hong Mei. Walaupun hanya samar-samar memahami apa yang dikatakan Pangeran Sarkara, Pendeta negeri Fu Nan menganggukkan kepala, memberikan persetujuan.
Suara ayam hutan berkokok keras. Menyadarkan tiga orang di lereng bukit, bahwa hari telah beranjak senja. Merasa tidak ada hal penting yang perlu untuk dibicarakan, ketiganya sepakat untuk beranjak pergi.
?Paman, aku untuk sementara waktu akan menetap di gunung ini. Bila Paman Hong Mei tidak berkeberatan sebaiknya juga berada bersamaku.? Agaknya, Pendeta Fu Nan itu pun berpikir sama, tinggal sementara waktu di gua terpencil dan tersembunyi. Hanya lelaki paruh baya yang pergi meninggalkan gua. Tanpa diantara ia mengambil jalan yang sebelumnya diambil saat mendatangi gua, turun dengan langkah-langkah yang cepat sambil membawa guci perabuan menuju tempat kudanya tertanbat.
***
?Paman Hong Mei, mari kita selidiki sekitar tempat ini. Saat pertama kali menginjakkan kaki di lereng ini, aku mendapati bahwa tempat ini pernah ditinggali oleh seseorang. Saat itu, aku tidak berkesempatan melakukan pemeriksaan.? Pangeran Sarkara langsung berdiri dan bergegas pergi ke luar gua diikuti oleh Pendeta Fu Nan. Mereka bergerak ke atas menyusur sisi selatan Gunung Jantera Pawaka. Malam telah turun dan hari menjadi sangat gelap hanya sinar dari separuh purnama yang menjadi penerangan mereka. Tapi, itu cukup bagi dua orang yang terlatih dan memiliki bekal ilmu yang sangat matang. Tanpa kesulitan bergerak menyisir lereng Jantera Pawaka.
?Agaknya, di depan terdapat sebuah gua yang lain, Paman.? Pangeran Sarkara cepat mengambil ranting-ranting kering, membuat api dan menyalakan ranting-ranting itu. Berhati-hari dan waspada, ia mendahului masuk ke dalam gua. Di dalam gua segera ditemui kolam, yang terbentuk dari aliran mata air tanpa henti. Ia datang mendekati kolam, seksama memeriksa keadaan sekitar, dan matanya langsung terbenam pada aksara-aksara yang terukir pada dinding gua. Aksara-aksara itu segera mengundangnya datang mendekat. Sebuah pesan telah terbaca.
?Siapa pun yang ingin mempelajari ilmu peninggalanku, harus memulai dengan olah meditasi dan teknik pernafasan serta cara menghimpun tenaga murni. Sambil melatih teknik-teknik itu, hendaknya diimbangi dengan membaca kitab-kitab keutamaan dan kebijakan agar jiwa menjadi lebih bersih dan tidak kosong. Jangan terburu-buru mempelajari teknik gerak bela diri. Itu akan sia-sia. Tidak dapat menjangkau intisarinya. Perkuat batin dan jiwa itu lebih mulia. Kemuliaan untuk menyelami Naga Semesta. ?
?Naga Semesta?? Ia pun terus memeriksa keadaan gua. Di sana sini ditemukan ukiran aksara-aksara tersebar di sekeliling gua. Diukirkan pada dinding. Diguratkan di atas batu-batu besar yang terserak di dalam gua.
?Naga Semesta? Di mana catatan ilmu itu tersimpan. Apa yang tergurat hanya gerakan-gerakan dasar menghimpun tenaga dan teknik-teknik menghindar. Tidak ada petunjuk mengenai Naga Semesta.? Penasaran Pangeran Sarkara terus menyusur gua lebih dalam dan dibantu Pendeta Fu Nan membongkar-bongkar tumpukan batu-batu, berharap catatan Naga Semesta tersimpan dan tersembunyi di balik tumpukan bebatuan. Tetap saja upaya menemukan catatan Naga Semesta sia-sia.
?Paman, kita harus menemukan catatan Naga Semesta. Dari guratan peringatan aksara di dinding, aku menduga Naga Semesta ilmu yang dahsyat. Bila tidak di gua ini, kita akan terus mencari di lain tempat di sekitar lereng gunung.? Terus Pangeran Sarkara bergerak memeriksa, tidak hanya pada tumpukan batu melainkan juga pada celah-celah retakan dinding gua. Tiga penderesan nira, pencarian belum membuahkan hasil.
?Naga Semesta... Naga Semesta... Naga Semesta... Di mana catatan itu? Hampir seluruh sudut dan celah-celah dinding gua telah aku periksa dan bongkar. Naga Semesta tidak juga dapat ditemukan.? Pangeran Sarkara duduk di sebuah batu di pinggir kolam.
?Paman, aku rasa catatan itu tidak berada di dalam gua ini. Kita menginap di gua ini. Besok kita lanjutkan pencarian. Ada baiknya kita besok mencari juga ke sekeliling.? Pangeran Sarkara berjalan ke luar gua mencari dedaunan yang akan dipergunakan untuk alas tidur.
***
Embun belum juga mengering, karena matahari masih mengintip malu-malu. Suara kokok ayam hutan jantan ramai bersautan, begitu juga burung-burung liar berkicau riuh. Hari itu agaknya akan menjadi hari yang cerah. Dua bayangan keluar dari dalam gua. Mereka adalah Pangeran Sarkara dan Pendeta Hong Mei. Dua orang yang masih sibuk mencari-cari catatan mengenai Naga Semesta. Mereka kini mencarinya tidak lagi di dalam gua, tetapi menyusur dan menyibak semak-semak dan rerumputan di sekeliling lereng Gunung Jantera Pawaka.
Nasib baik berpihak pada mereka. Dengan kecermatan luar biasa, Pangeran Sarkara dan Pendeta Hong Mei mendapatkan gua yang tertutup semak-semak. Tepatnya gua itu sengaja ditutup dan disembunyikan dengan rimbunan semak-semak. Dibandingkan dengan gua sebelumnya, mulut gua lebih kecil dan sempit namun terlihat lebih apik dan rapi. Tanda gua itu belum lama ditinggalkan. Hati-hati dan dengan kesiapsiagaan, dua orang itu menyusur gua. Aneh, makin ke dalam keadaan gua semakian hangat dan terang. Jelas, ada sinar matahari yang telah menerobos masuk ke dalam gua.
?Pajaratan (makam)?? Manakala mata Pangeran Sarkara menemukan serangkaian aksa bertuliskan: Branjangan Naga Anta Pakuwon. Persemayaman Terakhir Naga Branjangan. Matanya bersinar penuh harapan. Apa yang dicarinya agaknya sudah di depan mata. Dengan sigap, Pangeran Sarkara dan Pendeta Hong Mei bergegas memeriksa setiap ruangan di dalam gua. Pada akhirnya, yakni di sebuah rongga ruangan gua, dua orang itu menemukan lima Janges Gendhaga (Kotak Hitam Mengkilap). Kotak hitam terbuat dari kayu pilihan. Kayu yang sangat kokoh dan kuat.
?Paman, mungkin di dalam kotak-kotak hitam catatan Naga Semesta tersimpan.? Melangkah penuh gairah, Pangeran Sarkara mendekati kotak-kotak kayu hitam dan langsung membukanya. Lima kotak kayu telah terbuka. Matanya terbelalak gembira, saat lembaran kulit yang berlipat sejenis ditangannya dan bertuliskan jelas Jagattraya Naga Walgita (Kitab Naga Semesta). Tanpa menunggu lama, ia pun membuka lipatan kulit itu dan membaca apa yang tergurat di atasnya. Selain gulungan kulit itu, Pangeran Sarkara tidak menemukan kitab-kitab lain. Beberapa kepingan logam mulia dan perangkat makan minum memang juga ditemukan tersimpan di antara lima kotak kayu hitam. Bagi Sarkara, semua itu tidak berharga saat Kitab Naga Semesta sudah digenggaman tangan.
?Paman, kitab ini berisikan ilmu yang luar biasa yang akan melengkapi Wiwuda Maha Wisya (Racun Maha Dewa).? Pangeran Sarkara senang. Harapan menghampar di hadapannya. Harapan menjadi lebih digjaya untuk menapak ke puncak kekuasaan.
?Paman, kita segera pergi menyepi ke Pengunungan Kendeng. Aku akan menekuni Naga Semesta barang enam atau tujuh purnama. Apabila Paman berkenan, Paman pun dapat menekuni Naga Semesta bersamaku?. Pangeran Sarkara menutup rapi seperti sediakala kotak-kotak kayu hitam itu. Ia hanya mengambil seperlunya kepingan logam mulia untuk kebutuhan perjalan.
Matahari belum berada di puncak. Dua orang berkuda bergegas ke luar dari punggung Gunung Jantera Pawaka, menyusur menuruni jalan yang sama, saat mereka memasuki gunung seperti roda api itu.
reff : http://elpramono.blogspot.com/2013/04/naga-bhumi-mataram-ii-sarkara-dan-naga_30.html
Dua bocah itu tidak memperhatikan, ada tiga orang berkuda melintas cepat dan masuk ke arah hutan yang berada pada perut gunung. Kalau saja tidak asyik terpaku pada gangsir, tentu bocah-bocah akan takjub pada tiga orang yang telah lewat. Tiga orang berkuda tadi tidak terlihat seperti orang kebanyakan. Terutama, penunggang kuda setengah baya berjubah panjang kuning dengan kepala prontos. Jelas, ia bukan asli Bhumi Mataram. Sebab, dua matanya mengecil sipit sementara kulitnya kuning samar dengan warna jubah yang dikenakan. Tidak hanya itu, kedatangan mereka ke Gunung Jantera Pawaka lebih menarik perhatian, karena gunung itu jarang didatangi orang, apalagi mereka yang merupakan golongan terpandang seperti tiga orang berkuda itu.
***
Tidak lebih dari dua penderesan nira, tiga penunggang kuda telah tiba pada lereng gunung. Sigap dan tangkas, mereka turun dari kuda dan menambat hewan-hewan tunggangannya pada pohon-pohon di tempat yang tersembunyi.
?Di sebelah selatan lereng ini, aku menyemayamkan jenasah guru pada sebuah gua.? Kata lelaki paling muda. Ia mendahului bergerak ke selatan. Dua orang lainnya mengikuti.
Tanpa kesulitan, mereka tiba pada sebuah goa di lereng selatan Gunung Jantera Pawaka. Dengan penerangan yang telah dipersiapkan, tiga orang itu memasuki gua yang gelap dan pengap. Sedikit ke dalam. kurang dari dua puluh tumbak dari mulut gua, mereka segera menemukan sesosok jenasah. Orang yang sudah sangat tua, berwajah putih pucat dan menyeramkan. Pangeran Abhipraya. Sekalipun pakaian yang membungkus tubuh telah melapuk, sosok jenasah itu masih utuh sempurna. Utuh, karena pengaruh Carmi Samudra (Samudera Kaca), pelindung diri tingkat tinggi berlambarkan pada kekuatan angin yang dikuasai sempurna oleh Pangeran Abhipraya semasa hidup.
Tiga orang itu membungkuk hormat di hadapan jenasah, bahkan seorang di antaranya menubruk dan merangkul sosok yang telah membiru beku. Ia tidak bersuara, tetapi dari dua matanya mengalir air mata. Tidak lama, ia kembali membaringkan sosok jenasah pada tempatnya semula dan mengambil posisi di sisi kiri lelaki paling muda.
?Guru, maafkan Sarkara baru sekarang dapat menyemayankan guru dengan upacara yang semestinya. Paman Pendeta Hong Mei silahkan memimpin upacara perabuan guru.? Kebisuan di antara mereka dipecahkan oleh suara lelaki paling muda yang meminta dilakukannya upacara perabuan. Sejumlah kayu dipersiapkan secukupnya, dan jenasah Pangerah Abhipraya dibaringkan di atas tumpkan kayu. Lelaki paruh baya berpakaian bangsawan menaburkan aneka bunga yang telah dibawanya. Menyusul persiapan yang selesai dijalankan, Pendeta yang dipanggil Hong Mei mengalunkan mantra-mantra perabuan. Saat perabuan pun tiba, dan bertindak sebagai penyala api adalah lelaki paruh baya berpakaian bangsawan.
?Ayah, selamat jalan. Buddha Yang Agung menanti dan akan menunjukkan jalan kembali ke dunia ini dengan penuh kemuliaan. Bilamana diperkenankan aku rela menjadi anak ayah kembali di kehidupan selanjutnya.? Tangannya bergetar saat menyalakan api pada tumpukan kayu tempat di atasnya jenasah Pangeran Abhipraya dibaringkan. Api terus merambat, kian lama kian membesar dan membakar habis kayu-kayu berikut jenasah di atasnya. Cukup lama dibutuhkan untuk melebur jenasah menjadi abu. Tiga penderesan nira kemudian api pun meredup padam, abu hasil pembakaran dikumpulkan pada sebuah bejana perak.
?Nakmas Sarkara, biarlah keris pusaka Yuyurumpung tetap pada Nakmas. Kita berbagi, aku menyimpan abu jenasah Ayah dan Nakmas menyandang Yuyurumpung, pusaka Ayahku.? Kata lelaki paruh baya berpakaian bangsawan, saat Pangeran Sarkara mengangsurkan sebilah keris kepadanya.
?Terima kasih, Paman.? Pangeran Sarkara menyelipkan keris pusaka ke punggungnya.
Sekalipun upacara perabuan telah selesai, tiga orang itu tidak segera beranjak pergi. Mereka duduk bersila di depan bekas pembakaran. Begitu saja, pembicaraan mengalir.
?Ah, segalanya begitu cepat berubah... Berubah tanpa terduga. Rencana matang yang telah disusun dengan hati-hati dan tampak membuahkan hasil yang baik, ternyata begitu tiba-tiba berubah dan mendatangkan kegagalan. Gagal karena sebuah dendam dari seorang Wajra Sasmaka Kunta dari perguruan Tombak Petir. Ia rupanya membelot dan justru berdiri bersama kekuatan Tembelang mengempur guru. Wajra Sasmaka Kunta... Yang tidak aku mengerti, mengapa guru bisa dikalahkan oleh seorang anak muda. Selain Wajra Sasmaka Kunta, anak muda itu telah menyayatkan goresan luka yang sangat mendalam... Tidak akan terhapuskan...? Gemertak suara gigi. Dendam telah mengental dan tersimpan pada nama itu.
?Nakmas Sarkara, jejak kita mungkin sudah diketahui. Atau setidaknya terus akan ditelusur telisik, tidak hanya oleh Tembelang melainkan oleh Bhumi Mataram sendiri. Wajra Sasmaka Kunta tentu telah membeberkan keberadaan kita. Tidak ada pilihan kecuali menghilang dan bersembunyi sementara waktu, dan muncul pada situasi yang memungkinkan. Dengan hati-hati dan sembunyi-sembunyi, aku akan meminta anakku di Poh Pitu untuk tidak gegabah dan menutup mulut. Masih berada di bawah kendali Paman sejumlah prajurit Suarnadwipa yang urung menyerang Tembelang. Paman akan menyebar dan membagi mereka ke dalam bagian-bagian kecil, berhati-hati menempatkan bagian-bagian itu di beberapa daerah, dan terus menjaga kontak di antara kelompok-kelompok. Terpenting, kita harus cepat menemukan Nyai Taragnyana dan merangkulnya kembali bergabung. Kekuatannya masih akan kita butuhkan.? Lelaki separuh baya berpenampilan bangsawan itu mengutarakan pendapatnya.
?Aku sepenuhnya setuju dengan apa yang Paman katakan. Aku sendiri akan melepaskan peran kuwadéan banija (pedagang kain). Wujud itu sudah tidak berguna, bahkan membahayakan. Aku akan kembali kewujud semula, dan menemui ayahku, Cri Wairiwarawiramardana. Aku sepenuhnya yakin bahwa peristiwa di Gurung Welirang itu sungguh-sungguh telah menjadikan aku sebagai korban. Nah, aku akan mengenakan kembali wujud Pangeran Sarkara dengan beberapa perubahan sebagai korban pembunuhan. Dengan perubahan itu, aku yakin Ki Wajra Sasmaka Kunta pun tidak akan lagi mengenali diriku. Bila tidak berkeberatan Paman Pendeta Hong Mei, bisa bersamaku. Biar aku mengatur segala sesuatunya untuk mengapus jejak sesungguhnya Paman Hong Mei.? Pangeran Sarkara menatap Pendeta Hong Mei. Walaupun hanya samar-samar memahami apa yang dikatakan Pangeran Sarkara, Pendeta negeri Fu Nan menganggukkan kepala, memberikan persetujuan.
Suara ayam hutan berkokok keras. Menyadarkan tiga orang di lereng bukit, bahwa hari telah beranjak senja. Merasa tidak ada hal penting yang perlu untuk dibicarakan, ketiganya sepakat untuk beranjak pergi.
?Paman, aku untuk sementara waktu akan menetap di gunung ini. Bila Paman Hong Mei tidak berkeberatan sebaiknya juga berada bersamaku.? Agaknya, Pendeta Fu Nan itu pun berpikir sama, tinggal sementara waktu di gua terpencil dan tersembunyi. Hanya lelaki paruh baya yang pergi meninggalkan gua. Tanpa diantara ia mengambil jalan yang sebelumnya diambil saat mendatangi gua, turun dengan langkah-langkah yang cepat sambil membawa guci perabuan menuju tempat kudanya tertanbat.
***
?Paman Hong Mei, mari kita selidiki sekitar tempat ini. Saat pertama kali menginjakkan kaki di lereng ini, aku mendapati bahwa tempat ini pernah ditinggali oleh seseorang. Saat itu, aku tidak berkesempatan melakukan pemeriksaan.? Pangeran Sarkara langsung berdiri dan bergegas pergi ke luar gua diikuti oleh Pendeta Fu Nan. Mereka bergerak ke atas menyusur sisi selatan Gunung Jantera Pawaka. Malam telah turun dan hari menjadi sangat gelap hanya sinar dari separuh purnama yang menjadi penerangan mereka. Tapi, itu cukup bagi dua orang yang terlatih dan memiliki bekal ilmu yang sangat matang. Tanpa kesulitan bergerak menyisir lereng Jantera Pawaka.
?Agaknya, di depan terdapat sebuah gua yang lain, Paman.? Pangeran Sarkara cepat mengambil ranting-ranting kering, membuat api dan menyalakan ranting-ranting itu. Berhati-hari dan waspada, ia mendahului masuk ke dalam gua. Di dalam gua segera ditemui kolam, yang terbentuk dari aliran mata air tanpa henti. Ia datang mendekati kolam, seksama memeriksa keadaan sekitar, dan matanya langsung terbenam pada aksara-aksara yang terukir pada dinding gua. Aksara-aksara itu segera mengundangnya datang mendekat. Sebuah pesan telah terbaca.
?Siapa pun yang ingin mempelajari ilmu peninggalanku, harus memulai dengan olah meditasi dan teknik pernafasan serta cara menghimpun tenaga murni. Sambil melatih teknik-teknik itu, hendaknya diimbangi dengan membaca kitab-kitab keutamaan dan kebijakan agar jiwa menjadi lebih bersih dan tidak kosong. Jangan terburu-buru mempelajari teknik gerak bela diri. Itu akan sia-sia. Tidak dapat menjangkau intisarinya. Perkuat batin dan jiwa itu lebih mulia. Kemuliaan untuk menyelami Naga Semesta. ?
?Naga Semesta?? Ia pun terus memeriksa keadaan gua. Di sana sini ditemukan ukiran aksara-aksara tersebar di sekeliling gua. Diukirkan pada dinding. Diguratkan di atas batu-batu besar yang terserak di dalam gua.
?Naga Semesta? Di mana catatan ilmu itu tersimpan. Apa yang tergurat hanya gerakan-gerakan dasar menghimpun tenaga dan teknik-teknik menghindar. Tidak ada petunjuk mengenai Naga Semesta.? Penasaran Pangeran Sarkara terus menyusur gua lebih dalam dan dibantu Pendeta Fu Nan membongkar-bongkar tumpukan batu-batu, berharap catatan Naga Semesta tersimpan dan tersembunyi di balik tumpukan bebatuan. Tetap saja upaya menemukan catatan Naga Semesta sia-sia.
?Paman, kita harus menemukan catatan Naga Semesta. Dari guratan peringatan aksara di dinding, aku menduga Naga Semesta ilmu yang dahsyat. Bila tidak di gua ini, kita akan terus mencari di lain tempat di sekitar lereng gunung.? Terus Pangeran Sarkara bergerak memeriksa, tidak hanya pada tumpukan batu melainkan juga pada celah-celah retakan dinding gua. Tiga penderesan nira, pencarian belum membuahkan hasil.
?Naga Semesta... Naga Semesta... Naga Semesta... Di mana catatan itu? Hampir seluruh sudut dan celah-celah dinding gua telah aku periksa dan bongkar. Naga Semesta tidak juga dapat ditemukan.? Pangeran Sarkara duduk di sebuah batu di pinggir kolam.
?Paman, aku rasa catatan itu tidak berada di dalam gua ini. Kita menginap di gua ini. Besok kita lanjutkan pencarian. Ada baiknya kita besok mencari juga ke sekeliling.? Pangeran Sarkara berjalan ke luar gua mencari dedaunan yang akan dipergunakan untuk alas tidur.
***
Embun belum juga mengering, karena matahari masih mengintip malu-malu. Suara kokok ayam hutan jantan ramai bersautan, begitu juga burung-burung liar berkicau riuh. Hari itu agaknya akan menjadi hari yang cerah. Dua bayangan keluar dari dalam gua. Mereka adalah Pangeran Sarkara dan Pendeta Hong Mei. Dua orang yang masih sibuk mencari-cari catatan mengenai Naga Semesta. Mereka kini mencarinya tidak lagi di dalam gua, tetapi menyusur dan menyibak semak-semak dan rerumputan di sekeliling lereng Gunung Jantera Pawaka.
Nasib baik berpihak pada mereka. Dengan kecermatan luar biasa, Pangeran Sarkara dan Pendeta Hong Mei mendapatkan gua yang tertutup semak-semak. Tepatnya gua itu sengaja ditutup dan disembunyikan dengan rimbunan semak-semak. Dibandingkan dengan gua sebelumnya, mulut gua lebih kecil dan sempit namun terlihat lebih apik dan rapi. Tanda gua itu belum lama ditinggalkan. Hati-hati dan dengan kesiapsiagaan, dua orang itu menyusur gua. Aneh, makin ke dalam keadaan gua semakian hangat dan terang. Jelas, ada sinar matahari yang telah menerobos masuk ke dalam gua.
?Pajaratan (makam)?? Manakala mata Pangeran Sarkara menemukan serangkaian aksa bertuliskan: Branjangan Naga Anta Pakuwon. Persemayaman Terakhir Naga Branjangan. Matanya bersinar penuh harapan. Apa yang dicarinya agaknya sudah di depan mata. Dengan sigap, Pangeran Sarkara dan Pendeta Hong Mei bergegas memeriksa setiap ruangan di dalam gua. Pada akhirnya, yakni di sebuah rongga ruangan gua, dua orang itu menemukan lima Janges Gendhaga (Kotak Hitam Mengkilap). Kotak hitam terbuat dari kayu pilihan. Kayu yang sangat kokoh dan kuat.
?Paman, mungkin di dalam kotak-kotak hitam catatan Naga Semesta tersimpan.? Melangkah penuh gairah, Pangeran Sarkara mendekati kotak-kotak kayu hitam dan langsung membukanya. Lima kotak kayu telah terbuka. Matanya terbelalak gembira, saat lembaran kulit yang berlipat sejenis ditangannya dan bertuliskan jelas Jagattraya Naga Walgita (Kitab Naga Semesta). Tanpa menunggu lama, ia pun membuka lipatan kulit itu dan membaca apa yang tergurat di atasnya. Selain gulungan kulit itu, Pangeran Sarkara tidak menemukan kitab-kitab lain. Beberapa kepingan logam mulia dan perangkat makan minum memang juga ditemukan tersimpan di antara lima kotak kayu hitam. Bagi Sarkara, semua itu tidak berharga saat Kitab Naga Semesta sudah digenggaman tangan.
?Paman, kitab ini berisikan ilmu yang luar biasa yang akan melengkapi Wiwuda Maha Wisya (Racun Maha Dewa).? Pangeran Sarkara senang. Harapan menghampar di hadapannya. Harapan menjadi lebih digjaya untuk menapak ke puncak kekuasaan.
?Paman, kita segera pergi menyepi ke Pengunungan Kendeng. Aku akan menekuni Naga Semesta barang enam atau tujuh purnama. Apabila Paman berkenan, Paman pun dapat menekuni Naga Semesta bersamaku?. Pangeran Sarkara menutup rapi seperti sediakala kotak-kotak kayu hitam itu. Ia hanya mengambil seperlunya kepingan logam mulia untuk kebutuhan perjalan.
Matahari belum berada di puncak. Dua orang berkuda bergegas ke luar dari punggung Gunung Jantera Pawaka, menyusur menuruni jalan yang sama, saat mereka memasuki gunung seperti roda api itu.
reff : http://elpramono.blogspot.com/2013/04/naga-bhumi-mataram-ii-sarkara-dan-naga_30.html
EmoticonEmoticon