Perbedaan Lebih Dibutuhkan Daripada Persamaan
http://fe.unsyiah.ac.id/manusia-diciptakan-berbeda-agar-saling-mengenal/ |
Sebelum abad ke-21, setiap negara atau bangsa mencoba mencari persamaan antara yang satu dengan yang lain dan mungkin sampai saat ini kita juga masih sedang mengalaminya. Keadaan ini bukan semata-mata lahir begitu saja, tetapi karena dampak peperangan yang berkepanjangan dan keadaan politik saat itu. Jadi, kata ?saudara, semua sama, tidak ada hitam dan putih, tidak ada timur dan barat? adalah kata yang lahir untuk mewujudkan cita-cita tersebut, persatuan dan kebersamaan. Namun, di persimpangan jalan ada kelompok-kelompok tertentu atau negara tentu yang memanfaatkan keadaan ini. Perdamaian dan kebersamaan yang dicanangkan dari awal berubah menjadi kepentingan ekonomi politik dan industri.
Setelah perang dunia kedua, masing-masing negara mulai sibuk memperbaiki keadaan negara khususnya dalam bidang ekonomi. Amerika serikat sebagai negara adi kuasa dan juga sebagai ?pemenang? dalam perang, mengambil alih sistem perekonomian dunia dengan cepat. Mereka memberikan bantuan pinjaman kepada negara-negara korban perang dan juga negara-negara yang sedang berkembang dengan maksud negara-negara itu menjadi tunduk kepada aturan dan kebijakan mereka.
Dengan sistem pemerintahan demokrasi liberalis, bebas, Amerika semakin gencar menggempur dunia dari berbagai hal, ekonomi, politik, sosial budaya, musik, industri dan lain sebagainya. Tambahan lagi kebijakan luar negeri dan juga peran Amerika dalam PBB semakin memudahkan mereka melebarkan sayap di berbagai belahan dunia. Misalnya saja, MTV, Holywood, KFC dan lain sebagainya semakin menduduki hampir seluruh pelosok dunia. ?di Amerika telah menguniversalkan gaya hidup, dan gaya hidup yang dimaksud adalah sebuah ?budaya universal yang diwesternisasikan, yang pada dasarnya adalaah sebuah kekuatan ekonomi yang menyerbu dan mengontrol pasar-pasar lain di muka bumi? (smiers 2009: 52).
Amerika juga kuat melalui musik industri, pop, dalam mengitari budaya dunia. Hampir setiap negara mengikuti budaya pop Amerika. Industri musik lahir karena kebutuhan pasar dan masyarakat dalam hiburan, ditambah lagi Amerika tidak memiliki (sejarah) musik yang murni milik mereka jadi mereka menciptakan sejarah budaya mereka sendiri. Dalam industri, prinsip bagaimana bisa diterima oleh orang banyak (globalisasi) adalah hal yang utama.
Musik dapat diterima oleh banyak orang,universal, tidaklah mudah. Agar musik dapat diterima oleh banyak orang maka ?harus mereduksi perbedaan antar mereka hingga ke titik minimum..mengingkari perbedaan dan hanya memperlihatkan perbedaan-perbedaan tadi ketika semua konflik implisitnya sudah dilucuti? (Smiers 2009: 165). Dengan sedikitnya perbedaan yang terkadung dalam musik yang dipasarkan, maka akan semakin mudah diterima banyak orang dan itulah yang terjadi saat ini dalam musik industri, budaya Amerika. Ini sangat kejam. ? kejahatan terparah kolonialisme adalah menghancurkan kepercayaan diri orang-orang yang sebelumnya tegak bermartabatm dan membuat mereka percaya bahwa entah bagaimana budaya barat, agama barat, nilai-nilai barat, cara berpikir barat, dan teknologi barat, itu semuanya superior atas milik mereka sendiri? (Smiers 2009: 167).
Sekarang, abad ke-21 adalah abad mencari perbedaan dan juga abad mencari jati diri dan identitas. Masyarakat mulai sadar betapa pentingnya sebuah identitas dirinya dalam sebuah arus globalisasi saat ini. Dengan demikian muncullah komunitas-komunitas atau kelompok-kelompok tertentu termasuk juga para seniman mendobrak paham atau opini publik yang sudah diyakini selama ini, persamaan.
Mengapa jadi penting untuk mengklaim kembali sebuah ruang perkembangan identitas budaya yang kuat dan dimiliki bersama oleh orang-orang yang hidup di tempat tertentu atau yang saling terhubungkan dengan satu dan lain cara? Mengapa mencoba untuk memperoleh kembali ruang tersebut kalau ruang itu juga memuat perbedaan-perbedaan serta kejengkelan masing-masing?
Dunia tanpa adanya perbedaan atau homogenesasi budaya bukanlah suatu ide yang baik. Globalisasi yang ?mengimplikasikan heterogenesisasi sekaligus homogenesisasi umum? (smiers 2009 :178) harus segera dilawan dan disingkirkan. Keanekaragaman dan perbedaan adalah hal yang harus dijaga dan dilestarikan. ?ketiadaan toleransi akan perbedaan adalah ancaman terbesar di zaman kita.,,pengembangan perbedaan adalah kontribusi terbesar bagi perdamaian, baik perdamaian dengan alam maupun perdamaian antarmanusia,,,hal itu harus berupa tindakan sadar dan kreatif, baik secara intelektual maupun dalam praktiknya? (smiers 2009: 180).
Perbedaan (identitas) itu penting. Keanekaragaman budaya adalah aset besar. Coba bayangkan jika cara penguburan orang mati Jawa harus disamakan dengan Batak? Atau musik untuk duka cita bagi Jawa dan batak Disamakan apa yang terjadi? ?suatu identitas budaya yang berkembang baik akan mencakup perasaan kuat bahwa ungkapan-ungkapan artistik tertentu akan membuat kita menjadi orang yang kita inginkan dan pada saat yang bersamaan bisa jadi ungkapan lainnya mengganggu hidup kita, bukan milik kita sebenarnya, atau membuat perasaan kita merasa kurang nyaman? ( smiers 2009: 179).
Mari kita mundur sejenak, ke masa penjajahan Indonesia. Seperti yang disampaikan Suka Hardjana dalam seminar dan launching buku 30 Mei 2014 yang lalu di Auditorium Sanata Dharma, sebenarnya musik (dalam konteks musik barat) hanya kebarat-baratan saja, tidak mendalam. Jika dilihat dari sejarah yang membawa musik-musik barat ke Indonesia adalah para serdadu, misionaris, pedagang dan bisa dikatakan mereka bukanlah seniman seperti Moazar atau Beethoven. Yang kita dapat adalah musik-musik pinggiran, bukan musik barat yang sesungguhnya. Mengapa demikian? Itu dikarenakan di masa itu yang dibutuhkan adalah musik-musik untuk kepuasan batin mereka akan kampung halamannya, dan juga sebagai musik hiburan semata, leisure time music as pleasure. W.S Rendra menyindir, ?Indonesia hanya mengenal musik Klangenan? (dikutip dari makalah seminar). Dan ini menjadi cikal bakal musik pop Indonesia dan memiliki kemiripan dengan musik pop Amerika (barat) tentunya. Begitu juga dengan gereja, khususnya Katolik, mengadopsi musik-musik barat dalam Ritualnya atau ibadahnya, Organ.
Dalam jurnal ilmiah Romo Yohanes Don Bosko Bakok, mengulas tentang Musik liturgi inkulturatif di Gereja Ganjuran Yogyakarta. Di dalam dibahas mengenai musik liturgi, sejarahnya, tujuan dan lain sebagainya. Sejak Konsili vatikan II tahun 1962-1965, gereja membukan peluang bagi masuknya unsur-unsur budaya tradisional dalam liturgi. ?salah satu unsur budaya tradisional yang lazim digunakan adalah kesenian seperti musik, seni tari, seni sastra, dan seni rupa. Secara spesifik, musik tradisional yang lazim digunakan dalam liturgi disebut sebagai musik liturgi inkulturatif. Disebut musik inkulturatif karena didalamnya terdapat aspek liturgi universal dan aspek tradisi yang bertujuan menghantar umat dari latar belakang kehidupan dan budaya mereka yang kongkret kepada perjumpaan dengan Allah dalam doa dan pujian? (resital vo.14, no. 1, 2013: 25). Ia menjelaskan adanya pertentangan penggunaan musik inkulturatif yang sesuai dan tidak sesuai.
Penulis, berpendapat itu terjadi disebabkan beberapa hal. Pertama, umat atau masyarakat sadar betul secara intelektual bahwa musik Alu tidak sesuai untuk perayaan jumat agung dengan alasan ritmik yang terlalu bersemangat. Kedua, perasan tidak nyaman karena sudah terbiasa dengan musik barat (penjajahan pendengaran dan psikoligis) sehingga mereka memilih yang musik gamelan yang lebih menyatu dengan musik barat (organ). Ketiga, bisa jadi hal itu terjadi karena adanya gengsi (lifestyle) dari masyrakat bahwa musik Alu adalah musik yang terbelakang dan kuno serta tidak terkenal.
Berikutnya, yang menjadi pertanyaan berupa kritikan terhadap Gereja Ganjuran (juga untuk semua gereja khususnya katolik) adalah mengapa di era ini musik Inkulturatif digunakan untuk musik liturgi, mengapa tidak murni musik tradisional? Atau mengapa penggunaan musik tradisional yang tanpa embel-embel musik barat tidak digalakkan dalam gereja?
Inkulutrasi jika tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka ia hanya sebatas euforia saja dan delokalisasi saja, tidak mendalam. Penulis yakin gereja sadar betul dengan keadaan dunia saat ini, dimana pertempuran para kapitalisme dan konglomerasi budaya semakin mengoyakkan dunia, bangsa dan identitasnya. Gereja justru harus menyadarkan masyarakat dari sisa-sisa traumatik simulacra feodal-kolonial masa lalu. Membangun kembali kepercayaan masyakarakat bahwa mereka memiliki budaya yang bermartabat, dan bernilai. Bisa dikatakan, bahwa gereja juga terlibat dalam kehilangan identitas masyarakat/suku-suku yang didiami gereja melalui musik-musik gereja yang dibawa kolonial atau missionaris dulu dan oleh karena itu gereja juga bertanggung jawab untuk mengembalikannya.
Gereja harus sadar bahwa perbedaan itu harus dibangun di era ini. Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya dan gereja yang juga hampir menempati seluruh wilayah Indonesia harus menyadari hal ini. Indoensia adalah negara demokrasi dan kita harus mengakui bahwa ?karakteristik demokrasi adalah adanya iklim kebudayaan yang sepenuhnya berbeda dimana pun orang hidup? (smiers 2009:182). Berbicara mengenai perlunya perbedaan-perbedaan atau keanekaragaman adalah ?berbicara mengenai subyek yang terkoyak-koyak oleh kontradiksi dan kesulitan, walaupun gagasan tentang beragam budaya yang hidup bersama-sama saling mendampingi terdengar begitu indah dan demokratis? (smiers 2009:183). jadi, ?multikulturalisme harus tidak hanya mengakui perbedaan tetapi bahkan lebih pahit lagi, harus mengakui perbedaan-perbedaan yang tak terdamaikan? (smiers 2009:183).
Akhirnya, seperti kata Rustom Bharucha bahwa ?hanya dengan menghargai berbagai kekhususan budaya-budaya ?daerah? maka kita dapat mulai mengerti betapa banyak persamaan yang kita miliki?. Semoga kita masyarakat, kaum intelektual, seniman, politikus, gereja dan semua pihak dapat ambil bagian dalam menghidupkan kembali perbedaan-perbedaan atau keanekaragaman budaya Indonesia, supaya kita tidak kehilangan identitas dan harga diri kita yang sebenarnya.
reff : http://tappinsaragih9.blogspot.com/2014/06/lo-n-gue-berbeda-cuk.html
reff : http://tappinsaragih9.blogspot.com/2014/06/lo-n-gue-berbeda-cuk.html
EmoticonEmoticon